Senin, 17 Maret 2014

MODUL PELATIHAN KADER DASAR (PKD-XV)


KATA PENGANTAR



Pelatihan Kader Dasar atau yang lebih populer dengan sebutan PKD merupakan proses kaderisasi formal kedua di PMII pasca Masa Penerimaan Anggota Baru (MAPABA). Oleh karena fase ini adalah tahap lanjutan, maka persoalan doktrinasi nilai-nilai dan misi PMII, penanaman loyalitas dan militansi gerakan, sudah tuntas sehingga fokus garapannya adalah mewujudkan kader-kader PMII yang lebih dari sekedar militan, mempunyai komitmen moral, dan dasar-dasar kemampuan praksis untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar.


Sepanjang sejarah  dunia, di bangsa manapun, keyakinan serta agama apapun, selalu ada orang-orang unggul yang membimbing atau memimpin masyarakatnya ke arah yang lebih beradab, lebih manusiawi, dan lebih maju secara budaya, sosial dan ekonomi. Ada dari mereka yang tercatat dalam halaman-halaman buku sejarah, yang lain hanya terdapat dalam cerita lisan, dan ada pula yang bahkan tidak diingat-diketahui oleh siapapun. Merekalah yang dinamakan Pelopor.

Mahasiswa diharapkan menjadi pelopor berikutnya karena mahasiswa sebagai segmen pemuda yang tercerahkan dan memiliki kemampuan intelektual sekaligus sebagai orang yang memeiliki kemampuan logis dalam berifkir sehingga dapat membedakan dan berimajinasi secara Progresif. Gerakan mahasiswa bil khusus PMII selalu menginginkan dan mengupayakan proses perubahan sosial melalui reformasi. Langkah reformasi yang dilakukan melalui gerakan moral mahasiswa akan menjadi ciri khas salah satu elemen masyarakat yang bisa dianggap paling lama dalam melahap proses pendidikan. Sementara proses kritis berbasis massa yang kadang dilakukan dengan aksi demonstrasi, merupakan cara terakhir bagi mahasiswa sebagai Agent of Social Control. Sebagaimana adagium beberapa sahabat: “Ketika hati tak lagi dimengerti, ketika ucapan tak lagi didengarkan, maka cara terakhir adalah aksi!”.

Oleh sebab itu, perlu suatu proses tansformasi informasi, penanaman intelektual dan militansi, transmisi kaderisasi demi mempersiapkan aktor perubahan yang siap petik. Dan harapan terbesar bahwa dengan adanya Pelatihan Kader Dasar ini, PMII akan melahirkan kader-kader berjiwa militan, responsif dan solutif yang berlandaskan faham Ahlussunnah Wal Jamaah.

Dan modul ini merupakan materi PKD yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi sahabat-sahabati. Tetap “Tangan terkepal dan maju ke muka”. Akhir kata, sekali bendera dikibarkan, pantang dan haram diturunkan!



Wallahul Muwaffieq Ilaa Aqwamieth Thorieq

Wassalamu’Alaikum Warahmatullah Wabarakatuh







 Malang, Maret 2014
Penyusun

 




BAB I



PARADIGMA PMII



            Paradigma merupakan suatu yang vital bagi pergerakan organisasi. Karena paradigma merupakan titik pijak dalam membangun konstruksi pemikiran dan cara memandang sebuah persoalan yang akan termanisifikasikan dalam sikap dan prilaku organisasi. Disamping itu, dengan paradigma ini pula sebuah organisasi akan menentukan dan memilih nilai-nilai yang universal dan abstrak menjadi khusus dan praktis operasional yang akhirnya menjadi karakteristik sebuah organisasi dan gaya berfikir seseorang.



I.1 Pengertian dan Definisi Paradigma



Dalam khasanah ilmu sosial, ada beberapa pengertian paradigma yang dibangun oleh para pemikir sosiologi. Salah satu diantaranya adalah  G. Ritzer yang memberi pengertian paradigma sebagai pandangan fundamental tentang apa yang menjadi pokok persoalan dalam ilmu. Paradigma membantu apa yang harus dipelajari, pertanyaan apa yang harus dijawab, bagaimana seharusnya pertanyaan-pertanyaan itu di ajukan dalam aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam menafsirkan jawaban yang diperoleh. Paradigma merupakan kesatuan konsensus yang paling luas dalam suatu bidang ilmu dan membedakan antara kelompok ilmuwan. Menggolongkan, mendefinisikan dan yang menghubungkan antara eksemplar, teori, metode serta instrumen yang terdapat didalamnya. Mengingat banyaknya definisi yang dibentuk oleh para sosiolog, maka perlu ada pemilihan atau rumusan yang tegas mengenai definisi paradigma yang hendak diambil oleh PMII. Hal ini perlu dilakukan untuk memberi batasan yang jelas mengenai paradigma dalam pengertian komunitas PMII agar tidak terjadi perbedaan persepsi dalam memaknai paradigma.

            Maka pengertian paradigma dalam masyarakat PMII dapat dirumuskan sebagai titik pijak untuk menentukan cara pandang, menyusun sebuah teori, menyusun pertanyaan dan membuat rumusan mengenai suatu masalah. Lewat paradigma ini pemikiran seseorang dapat dikenali dalam melihat dan melakukan analisis terhadap suatu masalah. Dengan kata lain, paradigma merupakan cara dalam mendekati “obyek kajianya (the subject matter of particular discipline) yang ada dalam ilmu pengetahuan. Orientasi atau pendekatan umum (general orientations) ini didasarkan pada asumsi-asumsi yang dibangun dalam kaitan dengan bagaimana “realitas” dilihat. Perbedaan paradigma yang digunakan oleh seseorang dalam memandang suatu masalah, akan berakibat pada timbulnya perbedaan dalam menyusun teori, membuat konstruk pemikiran, cara pandang sampai pada aksi dan solusi yang diambil.



I.2 Pilihan Paradigma PMII

           

Disamping terdapat banyak pengertian mengenai paradigma dalam ilmu sosial ada berbagai macam jenis paradigma. Melihat realitas yang ada di masyarakat dan sesuai dengan tuntutan keadaan masyarakat PMII baik secara sosiologis, politis dan antropologis, akan PMII memilih paradigma kritis transformatif sebagai pijakan gerakan organisasi.



I.3 Paradigma Kritis Transformatif PMII



            Dari penelusuran yang cermat atas paradigma kritis, terlihat bahwa paradigma kritis sepenuhnya merupakan proses pemikiran manusia. Dengan demikian dia adalah secular. Kenyataan ini yang membuat PMII dilematis, karena akan mendapat tuduhan secular jika pola pikir tersebut diberlakukan. Untuk menghindari tudingan tersebut, maka diperlukan adanya reformulasi penerapan paradigma kritis dalam tubuh warga pergerakan. Dalam hal ini, paradigma kritis diberlakukan hanya sebatas sebagai kerangka berfikir dan metode analisis dalam memandang persoalan. Dengan sendirinya dia harus diletakkan pada posisi diluar ketentuan agama, sebaliknya justru ingin mengembalikan dan mengfungsikan ajaran agama yang sesungguhnya sebagaimana mestinya. Dengan kata lain paradigma kritis di PMII berupaya menegakkan sikap kritis dalam kehidupan dengan menjadikan ajaran agama sebagai inspirasi yang hidup dan dinamis.

            Sebagaimana dijelaskan di atas, pertama paradigma kritis berupaya menegakkan harkat dan martabat kemanusiaan dari berbagai belenggu yang diakibatkan oleh proses sosial yang bersifat profan. Kedua, paradigma kritis melawan segala bentuk dominasi dan penindasan. Ketiga, paradigma kritis membuka tabir dan selubung pengetahuan yang menarik dan hegemonik. Semua ini adalah semangat yang dikandung oleh Islam. Oleh karenanya, pokok-pokok pikiran inilah yang dapat diterima sebagai titik pijak paradigma kritis dikalangan warga PMII.

            Contoh yang paling kongkrit dalam hal ini bisa ditunjuk pola pemikiran yang mengunakan paradigma kritis dari berbagai intelektual islam, diantaranya:



1.    Hassan Hanafi

           

Penerapan paradigma kritis oleh Hassan Hanafi ini terlihat jelas dalam konstruksi pemikiranya terhadap agama. Dia menyatakan untuk memperbaharui Islam yang mengalami ketinggalan dalam segala hal, pertama-tama diperlukan analisis sosial. Menurutnya, pemikiran tradisional Islam, dalam rangka menganalisis masyarakat selama ini mengandalkan otoritas teks kedalam kenyataan. Dia menemukan kelemahan mendasar dalam metodologi ini. Pada titik ini dia memberikan kritik tajam terhadap metode tradisional teks yang telah mengalami ideologisasi.

            Untuk mengembalikan peran agama dalam menjawab problem sosial yang dihadapi masyarakat, Hassan Hanafi mencoba menggunakan metode “kiri Islam” yaitu metode pendefinisian realitas secara kongkrit untuk mengetahui siapa memiliki apa, agar realitas berbicara dengan dirinya sendiri. Sebagai realisasi dari metode ini, dia menawarkan “desakralisasi theology” dengan menjadikan theology sebagai antropologi. Pemikiran ini dimaksudkan untuk menyelamatkan Islam agar tidak semata-mata menjadi sistem kepercayaan (sebagai theology parexellence), melainkan juga sebagai sistem pemikiran.

Usaha Hassan Hanafi ini ditempuh dengna mengadakan rekrontruksi tehadap theology tradisional yang telah mengalami pembekuan dengan memasukkan hemenutika dan ilmu sosial sebagai bagian integral dari theology. Untuk menjelaskan theology menjadi antropologi, Hanafi memaknai theology sebagai ilmu kalam. Kalam merupakan realitas manusiawi sekaligus Ilahi. Kalam bersifat manusiawi karena merupakan wujud verbal dari kehendak Allah ke dalam bentuk manusia dan bersifat Ilahi karena datang dari Allah. Dalam pemikiran Hanafi, kalam lebih bersifat “praktis” dari pada “logis”, karena kalam-sebagai kehendak Allah-memiliki daya imperative bagi siapapun kalam itu disampaikan.

            Pandangan Hanafi tentang theology ini berbeda dengan theology Islam yang secara tradisional dimengerti sebagai ilmu yang berkenaan dengan pandangan mengenai akidah yang benar. Mutakallimin sering disebut sebagai “ahl al-ra’yu wa al-nadaar” yang muncul untuk menghadapi “ahl-albid’ah” yang mengancam kebenaran akidah Islam. Dua kelompok ini akhirnya berhadapan secara dialektis. Akan tetapi dialektika mereka bukanlah dialektika tindakan, tetapi dialektika kata-kata. Gagasan ideologi sebagai antropologi yang disampaikan oleh Hassan Hanafi sebenarnya justru ingin menempatkan ilmu kalam sebagai ilmu tentang dialektika kepentingan orang-orang yang beriman dalam masyarakat tertentu.

            Dalam pemikiran Hassan Hanafi, ungkapan “theology menjadi antropologi” merupakan cara ilmiah untuk mengatasi ketersingungan theology itu sendiri. Cara ini dilakukan melalui pembalikan sebagaimana pernah dilakukan Karl Marx tehadap filsafat Hegel. Upaya ini tampak secara provokatif dalam artikelnya “ideologi dan pembangunan” lewat subjudul; dari Tuhan ke bumi, dari keabadian ke waktu, dari taqdir ke kehendak bebas, dan dari otoritas ke akal, dari theology ke tindakan, dari kharisma ke partisipasi massa, dari jiwa ke tubuh, dari eskatologi ke futurology.



2.      Mohammad Arkoun



Arkoun menilai bahwa pemikiran Islam, kecuali dalam beberapa usaha pembaharuan kritis yang bersifat sangat jarang dan mempunyai ruang perkembangan yang sempit sekali, belum membuka diri pada kemodernan pemikiran dan karena itu tidak dapat menjawab tantangan yang dihadapi umat muslim kontemporer. Pemikiran Islam dianggapnya “naif’ karena mendekati agama atas dasar kepercayaan langsung tanpa kritik. Pemikiran Islam tidak menyadari jarak antara makna potensial terbuka yang dibeikan dalam wahyu Illahi dan aktualisasi makna itu dalam sejumlah makna yang diaktualisasikan dan dijelamakan dalam berbagai cara pemahaman, penceritaan dan penalaran khas masyaraakt tertentu ataupun dalam berbagai wacana khas ajaran teologi dan fiqih tertentu. Pemikiran Islam juga tidak menyadari bahwa dalam proses itu bukan hanya pemahaman dan penafsiran tertentu ditetapkan dan diakui, melainkan pemahaman dan penafsiran lain justru disingkirkan. Hal-hal itu baru didalami oleh berbagai ilmu pengetahuan modern, yang ingin dimasukkan arkoun ke dalam pemikiran Islam.

            Krena kritiknya yang terlalu kritis ini, Arkoun sering membeikan jawaban diluar kelaziman umat Islam (uncommon answer) ketika menjawab proble-proble kehidupan yang dialami umat Islam. Jawaban seperti ini telihat jelas dalam penerapan tori pengetahuan (theory of knowledge).

            Teori pengetahuan ini meliputi landasan epistemology kajian tentang Islam. Dalam hal ini Arkoun membedakan berbagai berbagai wacana ideologis, wacana rasional dan wacana profetis. Setiap wacana memiliki watak yang berbeda sehingga diperlukan kesesuaian dengna wataknya. Selama ini orang dengan mudah menyatakan melakukan kajian secara ilmiah, akan tetapi itu tidak jarang hanya merupakan proses ideologis semata. Ini tidak hanya dilakukan oleh orang-orang muslim, melainkan juga oleh orang-orang barat yang mengideologikan sikap meeka dalam memandang Islam. Salah satu corak ideologi adalah unsur kemadekan (tidak dinamis), resistensi (tidak kritis dan demi kekuatan (tidak transformatif).

            Untuk merealisasikan jawab tersebut Arkoun berusaha meletakkan dogma, interpretasi dan teks secara proporsional. Upaya ini dilakukan untuk membuka dialog terus-menerus antara agama dengan realitas untuk menentukan wilayah-wilayah mana dari agama yang bisa didialogkan dan dintrepretasikan sesuai dengan konteknya.

            Kedua pola pikir dari inteltual Islam di atas merupakan sedikit contoh yang bisa dijadikan model bagaimana paradigma kritis diberlakukan dalam wilayah pemikiran keagamaan. Disamping kedua pemikir Islam diatas sebenarnya masih banyak pemikir lain yang menerapkan pemikiran kritis dalam mendekati agama, misalnya Abdullah Ahmed An-naim, Asghar Ali Enggineer, Thiha Hussein, dan sebagainya.

            Dari kedua contoh diatas terlihat bahwa paradigma kritis sebenarnya beupaya membebaskan manusia dengna semangat dan ajaran agama yang lebih fungsional. Dengan kata lain, kalau paradigma kritis Barat berdasarkan pada semangat revolusioner sekuler dan dorongan kepantingan sebagai dasar pijakan, paradigma kritis PMII justru menjadikan nilai-nilai agama yang terjebak dalam dogmatisme itu sebagai pijakan untuk membangkitkan sikap kritis melawan belenggu yang kadang disebabkan oleh pemahaman keagamaan yang distortif.

            Jelas ini terlihat ada pebedaan yang mendasar penerapan paradigma kritis antara pemikiran barat dengan Islam (yang diterapkan PMII). Namun demikian harus diakui adanya persamaan antara keduanya yaitu dalam metode analisa, bangunan teoritik dan semangat pembebasan yang terkandung didalamnya. Jika paradigma kritis ini bisa diterakan dikalangan warga pergerakan, maka kehidupan keagamaan akan bejalan dinamis, bejalannya proses pembentukan kultur demokratis dan penguatan civil society akan segera dapat terwujud. Dan kenyataan ini terwujud manakala masing-masing anggota PMII memahami secara mendalam pengetian, kerangka paradigmamatik dan konsep teoritis dari paradigma kritis yang dibangun oleh PMII.

            Dalam pandangan PMII, paradigma kritis saja tidak cukup untuk melakukan transformasi sosial, karena paradigma kritis hanya berhenti pada dataran metodologis konsepsional untuk mewujudkan masyarakat yang komunikatif dan sikap kritis dalam memandang realitas.Paradigma kritis hanya mampu menelanjangi berbagai tendensi ideologi, memeberikam perspektif kritis dalam wacana agama dan sosial, namun ia tidak mampu memberikan perspektif perubahan pasca masyarakat terbebaskan. Pasca seseorang terbebaskan melalui perspektif keitis, paradigma kritis tidak memberikan tawaran yang praktis. Dengan kata lain, paradigma kritis hanya mampu melakukan analisis tetapi tidak mampu melakukan organizing, menjembatani dan memberikan orientasi kepada kelompok gerakan atau rakyat. Paradigma kritis masih signifikan untuk digunakan sebagai alat analisis sosial, tetapi kurang mampu untuk digunakan dalam perubahan sosial. Karena ia tidak dapat memberikan perspektif dan orientasi sebagai kekuatan bersejarah dalam masyarakat untuk bergerak. Karenanya, paradigma kritis yang digunakan di PMII adalah kritik yang mampu mewujudkan perubahan sehingga menjadi paradigma kritis transformatif.

Paradigma kritis transformatif PMII dipilih sebagai upaya menjembatani kekurangan-kekurangan yang ada dalam paradigma kritis pada wilayah-wilayah turunan dari bacaan kritisnya terhadap realitas. Dengan demikian paradigma kritis transformatif dituntut untuk memiliki instrumen-instrumen gerak yang bisa digunakan oleh masyarakat PMII mulai dari ranah filosofis sampai praksis.



I.4 Dasar Pemikiran Paradigma Kritis Transformatif PMII



Ada beberapa alasan yang menyebabkan PMII harus memilih paradigma kritis sebagai dasar untuk bertindak dan mengaplikasikan pemikiran serta menyusun cara pandang dalam melakukan analisa.

Pertama, masyarakat Indonesia saat ini sedang terbelenggu oleh nilai-nilai kapitalisme modern. Kesadaran masyarakat dikekang dan diarahkan pada satu titik yaitu budaya masa kapitalisme dan pola pikir positivistik modernisme. Pemikiran-pemikiran seperti ini sekarang telah menjadi berhala yang mengharuskan semua orang untuk mengikatkan diri padanya. Siapa yang tidak melakukan, dia akan ditinggalkan dan dipimggirkan. Eksistensinyapun tidak diakui. Akibatnya jelas, kreatifitas dan pola pikir manusia menjadi tidak berkembang. dalam kondisi seperti ini maka penerapan paradigma kritis menjadi suatu keniscayaan.

Kedua, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk, baik etnik, tradisi, kultur maupun kepergayaan. Kondisi seperti ini sangat memerlukan paradigma kritis, karena paradigma ini akan memberikan tempat yang sama bagi setiap individu maupun kelompok masyarakat untuk mengembangkan potensi diri dan kreatifitasnya secara maksimal melalui dialog yang terbuka dan jujur. Dengan demikian potensi tradisi akan bisa dikembangkan secara maksimal untuk kemanusiaan.

Ketiga, sebagai mana kita ketahui selama pemerintahan orde baru berjalan sebuah sistem politik yang represif dan otoriter denganpola yang hegemonik. Akibatnya ruang publik masyarakat hilang karena direnggutoleh kekuatan negara. Dampak lanjutannya adalah berkembangnya budaya bisu dalam masyarakat, sehungga proses demokratisai terganggu karena sikap kritis diberangus. Untuk mengembangkan budaya demokratis dan memperkuat civil society dihadapan negara, maka paradigma kritis merupakan alternatif yang tepat.

Keempat, selama pemerintahan orba yang menggunakan paradigma keteraturan (order paradigma) dengan teori-teori modern yang direpresentasikan melalui ideologi developmentalisme, warga PMII mengalami proses marginalisasi secara hampir sempurna. Hal ini karena PMII dianggap sebagai wakil dari masyarakat tradisional. Selai itu, paradigma keteraturanpun memiliki konsekwensi logis bahwa pemerintah harus menjaga harmoni dan keseimbangan sosialyang meniscayakan adanya gejolak sosial yang harus ditekan sekecil apapun. Sementara perubahan harus berjalan secara gradual dan perlahan. Dalam suasana demikian masa PMII secara sosiologis akan sulit berkembang karena tidak memiliki ruang yang memadai untuk mengembangkan diri, mengimplementasikan kreatifitas dan potensi dirinya.

Kelima, selain belenggu sosial politik yang dilakukan oleh negara dan sistemkapitalisme global yang terjadi akibat perkembangan situasi, faktor yang secara spesifik terjadi dikalangan PMII adalah kuatnya belenggu dogmatisme agama dan tradisi. Dampaknya, secara tidak sadar telah terjadi berbagai pemahaman yang distortif mengenai ajaran dan fungsu agama. Terjadi dogmatisasi agama yamg berdampak pada kesulitan membedakan mana yang dogma dan mana yang pemikiran terhadap dogma. Agamapun menjadi kering dan beku, bahkan tidak jarang agama justru menjadi penghalang bagi kemajuan dan penegakan nilai kemanusiaan. Menjadi penting artinya sebuah upaya dekonstruksi pemahaman keagamaan melalui paradigma kritis.




BAB II



KRITIK IDEOLOGI



II.1 Pengantar Kritik Ideologi



Secara etimologis istilah ideologi berasal dari kata “idea” yang berarti “gagasan, konsep, pengertian dasar, cita-cita”, dan “logos” yang berarti “ilmu”. Kata idea berasal dari bahasa Yunani “ideos” yang berarti bentuk, karena itu secara terminologis ideologi berarti ilmu pengetahuan tentang ide-ide atau ajaran tentang pengertin-pengertian dasar. Dengan demikian ideologi mencakup pengertian tentang ide-ide, pengertian-pengertian dasar, gagasan-gagasan, dan cita-cita.

Untuk lebih mendekatkan kita pada pengertian yang relevan dengan tema makalah ini, penulis perlu mengemukakan tiga pandangan terkait kajian tentang ideologi ini.

Pertama, de Tracy menjelaskan ideologi sebagai ”ilmu tentang gagasan”. Menurut de Tracy ideologi mencakup nilai, norma, falsafah, dan kepercayaan religius, sentimen, kaidah etis, pengetahuan, atau wawasan tentang dunia, etos dan semacamnya. Pengertian ini sering di sebut sebagai pendekatan yang ‘netral’ tentang ideologi.

Kedua, ideologi dipersempit maknanya oleh Karl Marx dan Sigmund Freud sebagai sistem gagasan yang dapat digunakan untuk ‘merasionalisasikan, memberikan teguran, memaafkan, menyerang atau menjelaskan keyakinan, kepercayaan, tindak dan pengaturan kultural tertentu.

Ketiga, ideologi tidak jarang dipandang negatif oleh ilmuwan misalnya Arief Budiman mengungkapkan bahwa ideologi selalu bermakna tidak sesuai dengan kebenaran. Pengetahuan yang bersifat ideologis, berarti pengetahuan yang lebih sarat dengan keyakinan subyektif seseorang, dari pada sarat dengan fakta-fakta empirik. Bila anda berdebat, kemudian pandangan anda di tuduh ‘ideologis’ berarti anda dianggap bersikap subyektif, tidak kritis lagi terhadap kebenaran yang ada. Dengan kata lain ideologi adalah pengetahuan yang menyesatkan, dan pelopor pandangan ini adalah Marx.

Pengertian serupa dapat dilihat dalam World Book Encyclopedia, yang mendefiniskan: “Ideologi tidak didasarkan pada informasi faktual dalam memperkuat kepercayaannya. Orang cenderung menerima sebuah sistem pikiran (atau gagasan) tertentu ini tentu menolak sistem pikiran lain yang tidak sama dalam menjelaskan kenyataan yang ada.… Karena itu, orang yang secara kuat menganut ideologi tertentu mengalami kesukaran mengerti dan berhubungan dengan penganut ideologi lain.”

Ketiga pandangan diatas, sama–sama memiliki signifikansi bagi masing-masing kepentigan. Pengertian pertama (de Tracy) penting untuk kepentingan pengetahuan dan penelitian, kedua (Marx yang dibenarkan oleh Arif Budiman) penting untuk melakukan kritik terhadap ideologi dominan (the dominant ideology). Dan tentu bagi insan pergerakan, penting untuk mengetahui sisi positif ideologi, yakni perannya sebagai “artikulasi kepentingan gerakan/organisasi”. Memang ideologi diciptakan untuk memberi arah bagi terpenuhinya kepentingan sebuah kelompok sosial tertentu. Ideologi dalam sebuah gerakan sering di fungsikan untuk mengatur dan mengarahkan aktivitas gerakan. Walaupun memang ideologi mengandung kemungkinan besar memanipulasi kebenaran, tetapi tetap memiliki signifikansi bagi sebuah gerakan atau organisasi bahkan partai politik.

Ada banyak ideologi besar di dunia seperti Marxisme, Sosialisme, Liberalisme, Komunisme, Kapitalisme, Neo Liberalisme dan masih banyak lagi yang mempunyai peranan sangan besar dalam kehidupan.



II.2 Bentukan Intervensif dalam Ideologi



Ideologi di samping dapat merupakan realitas yang mengejutkan, juga mampu mengemas aspek-aspek kehidupan justru berubah menjadi bersifat ideologis. Hal tersebut menampak dalam berfungsinya suatu aspek kehidupan sebagai ideologi, maka akan muncul misalnya agama dijadikan ideologi, kebudayaan dijadikan ideologi, pembangunan dijadikan ideologi, ekonomi dijadikan ideologi, strata sosial dijadikan ideologi. Dalam kasus-kasus penyeberangan tersebut dua hal menampak terlukai yakni unsur kebebasan dan unsur kemutlakan. Sementara itu pragmatisme sebagai suatu de-ideologisasi, yakni memandang tempat ideologi tidak lagi begitu penting, justru menampak sebagai ideologi. Pragmatisme sebagai suatu bentukan/kemasan ideologi menunjuk bahwa segalanya harus tunduk pada pembangunan ekonomis tehnis. Pada gilirannya muncullah ideologi pembangunan atau ideologi kemajuan tertentu yang akan menganggap remeh orang-orang kecil, yang boleh digilas saja demi mencapai tujuan.

Pertahanan kemasan ideologis tersebut didukung oleh fenomena globalisasi. Fenomena globalisasi, seperti halnya ideologi, bersifat ekuivokal dan elusif. Globalisasi menunjuk bukan hanya realitas ekonomi (perdagangan bebas dunia, pragmatisme), tetapi juga pemikiran alternatif di bidang ilmu dan filsafat sosial sehingga bersifat paradigmatis. Dalam milenium ketiga ini paradigma globalisasi paling tidak memuat delapan kriteria palsu (Sindhunata, 2003). Kriteria palsu tersebut adalah de-teritorialisasi, trans-nasionalisme, multi-lokal dan trans-lokal, imajinasi dalam kultur global, dilema kedaulatan, dilema demokrasi, bahaya otoriterisme, universalisme palsu. Kepalsuan kriteria dalam globalisasi itu nampak ketika mencermati cita-cita kesemestaan sejati yakni kesempurnaan manusia dalam persaudaraan global. Sementara itu elan-vital dalam globalisasi adalah persaingan sengit kebendaan, konsumerisme, polarisasi alienatif, kelompok eksklusif. Giddens (1999) menengarai bahwa globalisasi memiliki modus perombakan kehidupan manusia bertalian dengan risiko, tradisi, keluarga, dan demokrasi. Sementara itu konsep globalisasi, secara embriotik, antara mitos dan realitas, tercermin dalam Communist Manifesto “The need of a constantly expanding market for its products chases the bourgeoisic over the whole surface of the globe. It must nestle everywhere, settle everywhere, establish connections everywhere” (Marx and Engels, 1998, p.54).







II.3 Kritik atas Ideologi dan Paradigma Gerakan PMII



Sebagai kader PMII tentu saja kita menghendaki PMII selalu menunjukkan bentuk dinamisnya dan peran historisnnya tidak usang oleh perubahan jaman. Hal ini tentu saja membutuhkan keseriusan dalam membina keorganisasian dan bahkan melakukan kritik dan otokritik terhadap eksistensi dan kiprah PMII selama ini. Dalam tradisi keilmuan dan gerakan, kritisisme adalah conditio sine qua none yang mampu menjadikan organisasi tersebut dinamis, peka sosial dan menjadi anak zamannya. Kritisime dalam berpikir, bersikap dan berprilaku inilah yang akan mampu menghantarkan PMII beserta kader-kadernya ‘melek sosial’ dan berperadaban dimana ia tidak hanya menjadikan kader PMII lebih kritis dalam ranah perjuangan perubahan. Lebih dari itu, kritisisme itu akan menjadi salah satu takaran penting dalam mengejawantahkan berbagai nilai-nilai ideologis-paradigmatis PMII dalam menjawab persoalan kekinian maupun akan datang.

Kritik-Otokritik gerakan PMII meliputi dua hal utama, antara lain:

Pertama, berkaitan dengan tatanan internal keorganisasian, yang bertumpu pada lima fakta organisasi.

a.        Ideologi dan paradigma gerakan

b.      Sistem organisasi

c.       Sistem pengkaderan

d.      Strategi organisasi

e.       Logistik organisasi.

Kedua, platform dan pola relasi PMII dengan institusi, kekuatan dan realitas sekelilingnya, yang meliputi:

a.       Relasi PMII dengan negara

b.      Relasi PMII dengan rakyat serta kekuatan sipil lainnya

c.       Relasi PMII dengan kampus, gerakan mahasiswa dan pro demokrasi

d.      Relasi PMII dengan kekuatan kapitalisme global.



Tak satupun organisasi bergerak tanpa payung ideologi yang jelas. Ideologi berfungsi ibarat obor penerang jalan kiprah sebuah organisasi. Ideologi yang kerap dimaknai sebagai “a set of closely related belief, or ideas, or even attitudes, characteristics of a group or community” (Plamenatz; 1970), akan menjadi titik pembeda antara PMII dengan organisasi kemahasiswaan lainnya.

Dalam wilayah ideal, PMII mestinya mampu memerankan dirinya pada kerja-kerja besar ideologi, mulai dari; pertama, PMII mampu menjadi penggagas ideologi bagi diri dan masyarakatnya, dengan ini characteristic building PMII mewujud kukuh dalam setiap gerakannya. Ini berarti PMII harus mampu menyusun dan mengembangkan ideologinya, mulai dari postulasi pemikiran yang terkait dengan seluruh aspek kehidupan masyarakat, hingga tafsir dan detail pengembangan dan penggunaannya. Kalau hal ini tak tercapai, maka kedua, PMII berfungsi menjadi pendukung dan mufassir ideologi tertentu sebagai pembenar dalam setiap sikap dan tindakannya. Dan ketiga, menggiring PMII sebagai pengemban ideologi, dimana PMII menggerakkan diri dan masyarakatnya untuk mencapai arah akhir dari ideologi anutannya. (bandingkan dengan Hanief & Zaini; 2000).

Dalam intensitas dan spektrum yang berbeda, PMII pernah mengoperasikan ketiga bentuk peran tersebut, selama 4 (empat) dasa warsa lebih. Tatkala negara terkotak-kotak dalam politik aliran era Orde Lama Soekarno, yang menempatkan politik sebagai panglima, PMII memainkan peran pendukung sekaligus ideologi politik Islam tradisionalis. Peran ini menjebak PMII tercebur dalam kerja-kerja politik praktis yang menghilangkan watak radikal dan independensinya sebagai sebuah organisasi kemahasiswaan.

Begitu pula pada awal Orde Baru ditegakkan, PMII masih berkutat dengan pergulatan Islam sebagai ideologi politik dan tawaran developmentalisme yang memaksakan depolitisasi aliran dan dealiranisasi politik. Titik balik terjadi, ketika PMII kemudian mentahbiskan dirinya independen tidak terkait dengan organisasi politik manapun melalu Deklarasi Murnajati 1972 di Malang. Independensi PMII ini bermakna hilangnya keterikatan organisasi dari sikap dan tindakan siapapun dan hanya setia dengan perjuangan PMII sendiri serta cita-cita perjuangan nasional berlandaskan Pancasila.

Puncaknya, independensi PMII itu menjadi entry point upaya pencarian jati diri organisasi yang sesungguhnya. Artinya, PMII mulai harus mengurus dirinya sendiri tanpa menggantungkan dirinya dengan orang (kekuatan) lain, sambil terus berpegang pada landasan yang berasal dari dalam tradisinya sendiri serta kekuatan yang dibangunnya sendiri. Sikap ini telah mampu mencairkan berbagai trauma-trauma politik dan gerakan PMII di masa sebelumnya, hingga PMII memiliki keleluasaan gerak lebih lugas memilih peran-peran intelekual, kemasyarakatan dan kritisisme terhadap agama maupun negara tanpa terbebani oleh kejumudan tradisi (ortodoksi pemahaman keagamaan) ataupun terbatasi oleh keterikatan politik dengan kekuatan manapun.

Perumusan ideologi PMII sangat dipengaruhi oleh 3 (tiga) momentum penting ; 1). Kembalinya NU kepada khittah 1926 ; 2). Diterimanya Pancasila sebagai satu-satunya azaz tunggal dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara ; 3). Serta dirumuskannya NDP PMII dalam Konggres ke-8 tahun 1985. Bersamaan dengan itu kader PMII telah mulai menyebar di berbagai kampus umum dan aktif bergerak di berbagai LSM untuk melakukan gerakan pemberdayaan masyarakat serta terlibat intens dalam aksi-aksi jalanan melawan hegemoni negara.

Akhirnya pada paruh pertama dasa warsa ‘90-an, berbagai rumusan ideologi dan paradigma gerakan PMII terbentuk. Ideologi gerakan PMII bukanlah bangunan ideologi sekuler, melainkan ideologi berbasis agama. Sebab, ideologi yang dibangun oleh PMII menggambarkan susunan kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang dicita-citakan, dalam keterkaitan di antara hubungan kekuasaan sesama manusia di dalam masyarakatnya dengan pengabdian manusia kepada Tuhan sebagai penguasa tertinggi berasal dari tradisi pemahaman ke-Islaman dan bersumber dari nilai-nilai Aswaja (yang dipandang sebagai manhaj al-fikr).

Sedangkan paradigma gerakan PMII di bangun atas postulasi-postulasi dan nilai-nilai universal Islam serta hasil dialog kreatif tradisi pemahaman Islam tradisional dengan background sosial dan historis (tradisonal dan rural-agraris) aktifis PMII dan realitas sosial-politik khas Indonesia. Paradigma gerakan ini sangat dipengaruhi oleh pemikiran Thomas S. Kuhn yang memandang paradigma sebagai serangkaian konstelasi teori, pertanyaan, pendekatan serta prosedur yang dikembangkan dalam rangka memahami kondisi sejarah, dan realitas sosial untuk memberikan konsepsi dalam menafsirkan realitas sosial (Kuhn, 1962).

Dengan ideologi yang bersumber dari agama, watak paradigma PMII pun tak lepas dari landasan teologis yang dianutnya. Corak pemahaman teologis yang mempengaruhi cara pandang dan etos gerakan PMII inilah yang nantinya menjadi pembeda dengan berbagai paradigma gerakan mahasiswa atau kekuatan sipil lainnya. Akhirnya, PMII memilih paradigma kritis transformatif sebagai paradigma gerakannya, bahkan rumusan ini termaktub dengan jelas dalam Bab V pasal 6 Anggaran Dasar PMII hasil Kongres PMII Medan tahun 2000 lalu.

Namun, harus disadari bahwa masih banyak kelemahan dan ke-simpangsiur-an konsep maupun aplikasi praktis dari bangunan ideologi dan paradigma gerakan PMII. Kritik atas ideologi dan paradigma PMII menjadi sangat penting diungkapkan di sini, sebab ada beberapa hal yang mesti dituntaskan berkaitan dengan persoalan tersebut.

Pertama, rumusan teologis paradigma PMII selama ini didasarkan pada rumusan Aswaja dan NDP yang masih normatif. Padahal proyek dekonstruksi Aswaja sampai hari ini masih terus berlangsung dan belum menemukan konsepsi otoritatifnya. Bagaimana PMII kemudian berani mendasarkan landasan teologisnya pada sebuah diskursus dekonstruksi dan rekonstruksi Aswaja yang belum usai, menyimpan kontradiksi di sana-sini, belum ada bangunan epistimologisnya, dan dipenuhi perdebatan teologis dari pemikir Islam tradisional? Jangan-jangan ini hanya menjadi semacam “kegenitan” intelektual” para aktifis PMII yang kemudian menjadikan rumusan teologis PMII sebagai media “uji coba” dalam mencari konsepsi teologis Islam tradisional yang paling sesui dengan gerak dinamika sosial dan sejarah?.

Sekitar tahun 1996-1997-an, PMII mengangkat tema teologi antroposentrisme-transendental sebagai landasan paradigma gerakannya. Konstelasi ini menempatkan manusia sebagai subyek utama yang melakukan tugas dan fungsi Tuhan di muka bumi (khalifatullah fil ardl), dimana manusia tidak diletakkan pada dua kutub yang diametral dan kontradiktif, yakni di satu sisi sebagai khalifatullah yang memiliki tugas memakmurkan bumi dan menyelesaikan persoalan kemanusiaan dengan keadilan, dan di sisi lain sebagai abdullah yang mempunyai tugas mengabdi dan menyembah Allah dengan penuh kepasrahan. Namun, sebagai totalitas kesatuan kekhalifahan dan abdullah sekaligus, yakni menempatkan manusia sebagai makhluk yang paling tinggi, sebagai khalifah Allah di muka bumi dan sebagai makhluk yang mempunyai kemampuan fitri dan akali (PB PMII, 1997).

Postulasi pandangan teologis seperti ini memang lebih maju sebagai upaya penafsiran atas normatifitas NDP PMII, namun sebenarnya belum memberikan jawaban apapun atas berbagai persoalan dekonstruksi teologi Aswaja yang sudah hampir satu dasa warsa ini diperdebatkan. Apalagi kalau kemudian konsepsi ini digugat dengan realitas di lapangan, bahwa tidak ada korelasi positif antara pandangan teologis PMII ini dengan seluruh etos dan pola gerakan PMII hari ini. Sementara itu PMII telah memilih transformasi sebagai pilihan paradigmanya, padahal pandangan teologis antroposentrisme-transendental PMII masih belum mampu menjawab apa bangunan epistimologisnya, realitas wujudnya dan corak serta watak teologi apa yang sebenarnya dihasilkan, apakah revolusioner? Transformatif ? Normatif ? Atau bahkan malah fundamentalis-formalistik ? Sungguh masih sangat banyak pertanyaan dan problema yang muncul dari berbagai rumusan teologis yang telah PMII klaim sebagai basis ideologi dan paradigmanya.

Kedua, rumusan sebuah paradima gerakan itu sangat terikat dengan ruang dan waktu (space and time) serta harus bersifat terbuka atas perubahan (open ended). Artinya, paradigma PMII ini akan mengalami deviasi atau shifting paradigm yang akan melahirkan sebuah community consensus baru, hal ini akan berlangung terus menerus. Karena itu, watak paradigma PMII adalah temporal/ tidak permanen, dan akan terus mengalami perubahan sebagai bentuk tuntutan penyesuaian atas watak dinamis gerak sejarah kemanusiaan yang terus berkembang dan berubah-ubah.

Persoalan menjadi muncul, tatkala PMII membakukan konsepsi paradigma kritis transformatif tersebut dalam Anggaran Dasarnya (AD). Sebab, dengan memasukkan paradigma tersebut dalam AD PMII, seakan-akan menyiratkan bahwa rumuan paradigma itu digiring untuk dipermanenkan di PMII. Ini adalah kontradiktif dengan watak sebuah paradigma itu sendiri yang sangat terikat oleh relatifitas space and time, dan itu artinya tidak permanen dan sangat mungkin dirubah, sesuai dengan konteks dimana serta kapan paradigma itu diterapkan.

Sangat wajar, jika kemudian 2 tahun terakhir ini mulai dipertanyakan kembali rumusan teologis dan paradigma gerakan PMII itu oleh beberapa aktifis PMII sendiri? Sebab kenyataannya, tidak ada relasi timbal-balik antara rumusan teologis dan paradigma itu dengan seluruh aktifitas yang dilakukan oleh PMII di seluruh tingkatan? Sulit menyimpulkan apakah kalau PMII itu melakukan aksi jalanan ataupun pemikiran itu dijiwai / disemangati oleh landasan teologis dan paradigma PMII sendiri.



II.4 Wacana Ideologi Alternatif



Pencermatan akan kandungan kritik-kritik tersebut, baik pada ideologi melaksanakan kritik maupun pada ideologi mengalami kritik, mengantar pada refleksi bahwa ideologi mengalami kritik ilmiah cenderung jauh dari signifikansi ideologisnya.  Ideologi kapitalisme dan ideologi sosialisme telah menoreh noktah-noktah destruktif bagi kehidupan masyarakat yang beradab, memperkosa harkat martabat manusia. Ideologi Kapitalisme bertahan karena kemampuannya memperoleh dukungan politik. Hal tersebut bertalian dengan sistem kelas, di samping mekanisme untuk mempertahankan legitimasi (proses demokratik, persaingan antar partai, reformasi sosial, kesejahteraan). Namun nampak kesulitan mempertahankan legitimasi suatu sistem politik yang berdasarkan kekuatan kelas yang tidak sama. Di samping itu terdapat kecenderungan krisis yang terjadi dalam masyarakat kapitalis, yang akan mempersulit pertahanan stabilitas politik melalui persetujuan belaka. Masyarakat kapitalis memungkinkan konflk antara logika akumulasi kapitalis dengan tekanan dari rakyat yang menuntut partisipasi dan persamaan lebih besar. Kondisi yang demikian itulah yang akan mempersulit pertahanan legitimasi. Paradigma negara kesejahteraan merupakan obsesi negara-negara Barat dalam mengantisipasi kesulitan pertahanan legitimasi. Tetapi paradigma tersebut juga menghadapi kesulitan, sehingga dicari berbagai jalan tengah (Giddens, 1998; Giddens, 2000).

Ideologi sosialisme bertahan karena paradigma bahwa semua orang akan memberi menurut kecakapannya dan akan menerima menurut  kebutuhannya. Tetapi paradigam tersebut menghadapi kesulitan yakni memerlukan kewenangan yang akan mengatur kebutuhan dan kecakapan. Sementara itu masyarakat merupakan kumpulan individu-individu, sehingga kebahagiaan seseorang pada gilirannya akan memajukan kebahagaan orang-orang lain. Maka parameter kemajuan masyarakat adalah kemajuan para individu yang membentuknya. Pada galibnya ideologi sosialisme mencari identifikasi diri pada kemajuan menghadapi konservatif dan penderitaan yang mengalami ketimpangan. Sementara itu pencarian identifikasi diri tersebut menghadapi  kekurangan asas-asas kebebasan dan subjektivitas, dan sering gagal sebagai suatu sistem ekonomik dan meragukan dalam hal moral (Murchland, 1992).

Dilema pada ideologi kapitalisme dan ideologi sosialisme tersebut mengusik wacana ideologi alternatif. Sementara itu wacana alternatif ideologi dirasa akan memfungsikan aspek-aspek kehidupan sebagai suatu ideologi, sehingga justru akan menimbulkan permasalahan substantif. Hal itu misalnya akan nampak dalam ideologi ilmu yang bebas nilai, ideologi agama yang inklusif-fundamentalistik. Sedangkan  ketika paradigma agama diantisipasi sebagai modus pencarian ideologi alternatif ( agama pascaideologi) akan menimbulkan polemik di dalam dirinya sendiri dan polemik agama sebagai sistem sosial yang komprehensif (Maksum, ed. 1994).

Wacana humanisme sebagai ideologi alternatif dipilih dengan pertimbangan sebagai berikut. Humanisme pada galibnya bersifat anthroposentris, merupakan paradigma pikiran yang memperjuangkan dihormatinya manusia dengan harkat dan martabatnya serta penempatan manusia sebagai pusat perjuangan pembudayaan (tanggapan manusia untukmemenuhi kebutuhan akan makna dalam berbagai ekspresi) dan peradaban (kebudayaan diarahkan pada proses humanisasi atau pemanusiawian dunia). Paradigma tersebut mengandung beberapa butir analisis sebagai berikut. Humanisme merupakan arus peradaban, yang menempatkan manusia di satu pihak sebagai pusat dan sumber makna segala sesuatu yang pada gilirannya menjadi berharga dalam hidup, di lain pihak menempatkan manusia sebagai pelaku proses sejarah. Humanisme memungkinkan pembangunsadaran kritis dirinya terhadap hegemoni makna atau manipulasi kesadaran kritis, sehingga peziarahan humanisme mencapai suatu transformasi bagi kesadaran naif dan kesadaran magis. Proses yang dilakukan lewat pendidikan atau aksi budaya yang bertujuan untuk semakin memekarkan ruang hidup manusia sebagai pusat merupakan suatu proses humanisasi atau pemanusiawian dunia (Sutrisno, 2001).

Pranarka (1971) menyebut paradigma humanisme baru untuk menunjukkan bahwa semua dapat bekerja untuk semua, semua membangun untuk semua, semua berbahagia bersama semua. Humanisme baru dibangkitkan oleh proses sejarah itu sendiri. Humanisme baru berprinsip bahwa manusia merupakan faktor penentu dalam sejarah, dan semakin memilih untuk berbuat baik daripada melakukan yang jahat, memilih membangun daripada merusak, memilih perdamaian daripada peperangan dan pembunuhan, memilih pengabdian daripada adu kekuatan. Di situ terdapat penegasan pilihan antara humanisme theis, a-theis, atau independent?! Dengan otonomi, independensi dan mentalitas kritis yang tidak absolut, humanisme baru diantisipasi dapat merupakan ideologi alternatif dalam mengkritisi kemasan ideologi-ideologi. Di dalam humanisme baru maka fajar-baru-umat-manusia diantisipasi menyingsingkan kecerdasan spiritual yang berintikan kepekaan hati-nurani.





BAB III



MANAJEMEN KONFLIK



III.1 Definisi Konflik



Konflik berasal dari bahasa latin Configere : saling memukul atau berbenturan. Dua batang kayu yang saling dibenturkan terus menerus seringkali bisa menimbulkan api. Api yang dihasilkan tidak selalu bersifat distruktif. Dan seringkali hal ini justru diupayakan oleh para juru damai sebagai mana konflik-konflik yang tercipta lewat perjuangan aktif tanpa kekerasan seperti yang dilakukan oleh Gandhi yang akhirnya membebaskan India dari cengkraman kolonial inggris.

Dalam perkembangan pasca perang dunia ke-II, definisi konflik tidak lagi membatasi pada konflik berskala besar saja, misalnya: antar negara, antar wilayah, tetapi juga adanya konflik diwilayah intra personal atau konflik dalam diri sendiri hingga konflik bersenjata. Yang dimaksud dengan konflik dalam perkembangan terkini adalah keadaan sebagai akibat adanya pertentangan kepentingan oleh pihak yang berbeda.

Apa yang membedahkan antara konflik Destruktif dan yang Konstruktif yang membedakan adalah cara pihak-pihak yang ada dalamkonflik menangani konflik tersebut untuk memanfaatkan kearah perubahan yang sungguh konstruktif.

Cara membuat konflik menjadi sesuatu yang konstruktif ini disebut dengan melakukan transformasi konflik.



sketsa konflik 
















III.2 Sumber-sumber dan Jenis-jenis Konflik

Manusia akan selalu berorientasi dengan orang lain yang memiliki perbedaan pendapat, kepentingan dan kebutuhan. Konflik juga tidak dapat dihindari, segigih apapun upaya kita untuk menghindari konflik dinamikanya akan tetap berlanjut. Jika kita membiarkannya terjadi, meninggalkanya, seringkali malah semakin besar dan semakin sulit untuk ditangani.

Beberapa uraian berikut akan membantu dalam memahami konflik yang ada yang memiliki potensi “bahaya atau “peluang

  1. Masalah hubungan antar manusia

Emosi-emosi yang kuat, salah persepsi, stereotip, kurang atau salah komunikasi

  1. Perbedaan Nilai

Ideologi, Pandangan hidup, kelas social, Gender, kekuasaan, dll.

  1. Masalah kepentingan

Yakni masalh kebutuhan dan cara untuk memenuhinya atau taa cara maupun mental psikologis (sikap, emosi)

  1. Perbedaan Data

Kuantitas dsan kualitas informasi, kemampuan analitis, pemahaman, pola piker, dll.

  1. Masalah Struktural

Wewenang, sumber daya, kebiajakn, geografis, dll.



Secara sederhana, konflik dapat dipahami sebagai terjadinya perbedaan kepentingan. Misalnya ; Huda dan teman-temannya ingin nonton rame-rame, pada saat yang sama teman satu kosnya sedang sakit dan Huda harus menunggunya karena teman kos yang lain pada pulang semua.

Pada skala yang lebih kecil setip orang mengalami konflik yang di sebabkan oleh :

1.      Konsep Diri

Kebanyakan, orang yang berasumsi terlalu buruk tentang diri mereka sendiri dan berasumsi bahwa orang lain menggap dirinya lebih rendah. Maka mereka tersebut akan berasumsi bahwa orang meremehkan dirinya dirinya dari sederetan daftar apa yang di katakana orang tentang dirinya.

2.      Tekan Dari Pihak Lain

Pihak lain yang dimaksud bias jadi adalah orang lain atau kelompok lain yang mencoba mempengaruhi cara kita berfikir dan bahkan dalam pilihan kita pada masalah social atau yang lain.

3.      Kekuasaan (Power)

Banyak orang merasa mereka butuh untuk menyertakan kekuasan terhadap orang lain untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Hal tersebut bias berupa penyertaan ganjaran hukuman atau hdiah sebagaimana orang tua yang menyuruh anaknya untuk melakukan sesuatu.

4.      Budaya

Setiap budaya memiliki karakteristik dan nilai yang berbeda-beda satu sama lain. Ketidak pahaman atau kurangnya toleransi budaya seringkali memicu konflik. Semisal, penggunaan tangan kanan untuk mengambil barang atau makanan dianggap sopan. Dalam budaya lain belum tentu.

5.      Endapan Konflik

Hampir dalam setiap interaksi selalu terdapat konflik, namun seringkali kita mengabaikan konflik-konflik kecil yang mungkin kita anggap biasa. Namun bias jadi kumpulan dari berbagai konflik kecil itu kemudian mengendap menjadi stu dan berubah menjadi sebuah konflik yang lebih besar





III.3 Sikap Seseorang Ketika Menghadapi Konflik



1.      Kompetisi (saya menang dia kalah)

Kondisi dimana saya mendapatkan apa yang saya inginkan, menganggap kepentingan dan tujuan saya paling penting mesklipun untuk mencapainya saya harus membuat orang lain merasa terancam. Dalam kondisi ini ketika kita menyatakan posisi kita, yang penting adalah bagaimana membuat kita menang dan cara yang mudah untuk membuat orang lain kalah.

2.      Submisif (dia menang saya kalah)

Sejauh kita tidak berlawanan dengan pihak lain, saya tidak bias menyatakan apa yang sebenarnya saya inginkan. Seringkali kita bingung bagaiman cara kita menghormati orang lain  dengan cara yang baik, biasanya kita kita tidak menyatakan keinginan karena hal ini akan  membangkitkan ketegangan dan tidak nyaman. Akibatnya kita hanya memendam dalam diri, kemudian memuncak dan tak terbendung, kita dapat merusak diri sendiri ataupun orang lain.

3.      Menghindar (saya kalah kamu kalah)

4.      Hubungan dan hasil yang tidak terpenuhi keduanya. Kita tidak menghadapi konflik itu sendiri, kita seperti meletakkan kepala kita di pasir artinya lari dari ketakutan atau percaya konflik tidak dapat di cari penyelesaiannyadengan usaha yang kita lakukan. Padahal dengan menghindar ini, seperti telah kita bahas sebelumnya, konflik tidak akan pernah berhenti dan akan selalu ada.

5.      Kerja sama (saya menang kamu menang)

Mencapai hasil itu penting, tetapi hubungn dengan orang lain itu juga penting. Prinsipnya ; bahwa akhir penyelesaian harus konsisten dengan hasilnya. Bahwa kemenangan atau hasil akhir dari penyelesaian konflik adalah saya menang dan orang lain juga menang (kemenangan semuanya). Kerjasama bukan berarti kita menapung pendapat orang lain, bukan juga menyerah kepada apa yang kita piker penting. Diperlukan juga negosiasi, bukan berarti dengan mengobankan apa yang kita anggap penting.





III.4 Gaya Seseorang Saat Mengahadapi Konflik.



1.      Menghindari atau mengingkari

Banyak orang percaya adalah buruk terlihat marah pada orang lain, konflik sering menyebabkan orang sering merasa marah mereka mungkin mengingkari bahwa ada masalah atau mengingkari bahwa mereka mempunyai rasa marah pada orang lain. Meskipun demikian, menghindari masalah tidak akan memecahkan masalah. Situasi yang sama kemungkinan akan terjadi lagi dan ketika selalu menghindari maka orang tidak akan pernah tahu pemahaman kita akan suatu masalah.

2.      Agresi atau Koinfrontasi

Cara agresi menangani konflik adalah menyerang orang lain dan bukan mendenganrkan pendapat orang lain. Agresif berarti menyerang dan sering kali menimbulkan kerugian bagi orangn lain, gaya ini membuat konflik lebih sulit untuk dipecahkan. Mudah memancing kemarahan dan frustasi dan kekerasan tak jarang terjadi sebelum konflik di temukan.

3.      Asertif (menyatakan keinginan tanpa melukai orang lain)

Pendekatan yang asrtif memastikan bahwa kedua belah pihak didengar dan pihak yang berkoflik dilibatkan untuk membecarakan berbagai cara untuk memecahkan persoalan. Perlu diingat bahwa ; pihak yang berkonflik mungkin butuh untuk merubah tingkah laku untuk memecahkan konflik.





                                            

                                                                                                                                                                                                                                                                                

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                       




Hasil sangat penting

                        (+)                   

    






Kompetisi
Saya menang-kamu kalah
 

Kompetisi
Saya menang-kamu menang
 

 

      

                                                                                            (+)    





Kompromi (negosiasi
 
 

(-)                                                                                                                            (+)





Kompetisi
Saya kalah-kamu kalah
 
Kompetisi
Saya kalah-kamu menang
 
Hubungan sangat tidak penting                        Hubungan sangat penting                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                             

    

(-)

Hasil sangat tidak penting


   

Cara Damai
Cara Kekerasan
Bertahap berusaha tidak ada korban diantara kedua belah pihak
Bertahap korbannya, dan korban idak bias dihindari
Menjunjung tinggi penghormatan kepada hak-hak asasi manusia, keadilan yang setara bagi semua pihak tanpa prasangka dan diskriminasi
Menghambat pihak lain untuk memenuhi kebutuhannya maka sangat cenderung untuk melakukan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia. Tindakan yang diambil dilihat dari sisi kepentingan pribadi

Melakukan tahap :-   Rekonsiliasi
-    Negoisasi
-    Mediasi
-    Arbitrasi

Tidak mengupayakan penyelesaian dari dua pihak. Juga menyertakan bentuk-bentuk kekerasan fisik atau non fisik untuk mencapai tujuan
Mempertimbangkan adanya penyelesaian yang berefek jangka panjang yang memungkainkan kedua pihak dapat kembali hidup berdampingan atau saling percaya

Tidak mempertimbangkan kemungkinan kedua pihak dapat hidup berdampingan. Karena lebih berrientasi pada kemenangan satu pihak













BAB IV



ANALISA SOSIAL



IV.1 Definisi Analisa Sosial



Analisa sosial dimaksudkan untuk membaca keadaan sekitar. Laksana cahaya, dari pancarannya itu tentu dapat menyingkap hal-hal dalam gelap dan tersembunyi. Sehingga analisa sosial dapat didefinisikan sebagai usaha memperoleh gambaran yang lebih lengkap tentang sebuah situasi dengan menggali hubungan-hubungan historis dan strukturalnya. Tujuan analisa sosial adalah memberi perhatian pada hal-hal yang menyebabkan suatu perubahan (masalah) sosial di masyarakat.

Sebagai sebuah cara, analisa sosial tidak dirancang menyediakan penyelesaian (solusi) langsung atas permasalahan yang tengah terjadi. Suatu kejadian sosial tidak mesti kelar dengan satu jawaban mujarab. Oleh karenanya, analisa sosial merupakan siklus. Dari suatu keprihatinan menjadi keinginan mencari tahu. Rasa ingin tahu berlanjut pada pencarian informasi. Lalu permenungan yang disambung dengan merumuskan perbuatan. Dan terus seperti itu.

Analisa sosial sesungguhnya mempunyai batas-batas tertentu terhadap kerangka kerja yang harus dilakukan.  Adapun batas-batas analisa sosial adalah sebagai berikut;

1.      Tidak dirancang untuk menyediakan sebuah jawaban langsung atas pertanyaan “apa yang kita perbuat” jawaban atas pertanyaan itu merupakan tugas strategi dan perencanaan.

2.      Bukan kegiatan esoteris reflektif monopoli kaum intelektual.

3.      Bukan perangkat yang “bebas nilai”, bukan sudut pandang yang netral, bukan sudut pandang yang semata-mata ilmiah dan obyektif terhadap realitas.

Karena analisa sosial tidak hanya sekedar pengetahuan,  kemampuan menggali situasi sosial masyarakat dapat dilakukan oleh setiap orang dengan merakit lampu penerang yang dapat dipakai  memahami situasi sosial di sekeliling. Seberapapun terbatasnya hasil yang diperoleh dari suatu fokus persoalan. Manfaat analisa sosial antara lain, sebagai berikut:

1.      Memahami persoalan pokok yang dialami masyarakat.

2.      Mengerti kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan dalam masyarakat.

3.      Keterkaitan dalam berbagai sistem (sistem politik, ekonomi & budaya) dalam kehidupan sehari-hari orang banyak.

4.      Potensi-potensi masyarakat.

5.      Kebutuhan dasar orang banyak.



IV.2 Langkah-langkah Analisia Sosial



1.      Konversi, yaitu menyingkap dan memperjelas nilai-nilai yang mendorong kita melakukan tugas itu; berarti kita harus bersentuhan dengan berbagai perspektif, praduga-praduga, pendirian-pendirian yang mempengaruhi soal jawab yang kita lakukan dan penilaian-penilaian yang kita buat.

a.       Apa keyakinan dan nilai dasar kita ?

b.      Bagaimana rakyat?

c.       Bagaimana martabat dan hak asasi manusia?



2.      Diskripsi, yaitu membuat diskripsi umum dari situasi yang sedang kita coba untuk kita pahami. Mengumpulkan berbagai fakta dan tren melalui “brain storming” dan ceritera –ceritera yang berdekatan dengan pengalaman rakyat;

a.              Apa yang terjadi pada situasi tersebut?

b.             Apa yang kamu ketahui tentang situasi yang ada sekarang ini?

c.              Apakah yang terjaadi dalam situasi tersebut?

d.             Apa yang diungkap oleh foto-foto situasi tersebut?

e.              Kuisioner



3.    Analisis, adalah kita dapat melaksanakan tugas tersebut dengan empat pertanyaan mengenai;

1.      Sejarah. kita memandang situasi dengan mata kesadaran historis dan menegenali pengaruh masa lalu yang melatar belakangi kesadaran sekarang

a.       Perubahan-perubahan apa yang telah terdalam beberapa tahun ini?

b.      Manakah peristiwa-peristiwa yang paling penting?

c.       Apakah yang akan terjadi sepuluh tahun lagi bila kesadaran seperti ini?



2.      Struktural, berbagai struktur (pemerintah, hukum, pendidikan, perdagangan, tenaga kerja, budaya , agama, keluarga, dll) membentuk situasi yang bermacam-macam cara lembaga, proses atau pola yang menentukan faktor- faktor dalam akibat realitas sosial. Beberapa struktur cukup jelas, sedangkan yang lainnya tersembunyi.

a.    Siapakah yang membuat keputusan terpenting? Jelaskan.

b.   Siapakah yang mempunyai kekuasaan? Bagi siapa kekuasaan itu digunakan?

c.    Manakah penyebab terpenting dari situasi dewasa ini? Jelaskan.

d.   Bagaimana hubungan antar masyarakat?

e.    Apakah dalam masyarakat ada penggolongan?

f.    Bagaimanakah peraturan dan hukum yang berlaku? Dan bagaimana si pelaksana hukum itu sendiri?

g.   Bagaimana prosedur pembuatan keputusan atau peraturan?



3.      Nilai-nilai, disebut dengan cita-cita yang menggerakkan masyarakat, ideologi-ideologi dan norma-norma moral yang menentukan aspirasi-aspirasi  dan harapan-harapan yang ada dalam masyarakat.

a.    Siapakah pembawa nilai-nilai dalam masyarakat; pribadi-pribadi, model-model peranan, lembaga-lembaga.

b.   Penggunaan kekuasaan didasari oleh nilai apa?

c.    Apakah yang dikehendaki seseorang dalam hidupnya? Jelaskan

d.   Manakah tradisi-tradisi masyarakat yang mempengaruhi?



4.      Proyeksi

a.       Bagaimana keadaan sepuluh tahun yang akan datang jika bila situasi terus seperti ini?

b.      Manakah sumber-sumber kreativitas dan harapaan yang ada sekarang bagi masa depan?

c.       Apakah yang kau pelajari dari semua ini?



IV.3 Kerangka Berpikir dalam Melihat Realitas Sosial




KONSERVATIF
LIBERAL
RADIKAL
ISTILAH (LATIN)
Conservo; menyim-pan, mempertahankan, menjaga hingga tidak berkutik
liber; bebas merdeka, tidak dipaksa
radix; akar
SIKAP
Cenderung untuk mempertahankan  yang sudah ada
Cenderung untuk membiarkan tumbuh-nya kebebasan bagi yang mampu
Cenderung untuk mencari akar, atau sebab yang ada di dalam suatu masalah
PANDANGAN TENTANG MANUSIA
Manusia itu statis, mereka hidup dalam tatanan tertentu (kelas, kasta) dan menjalani saja. Baik manusia maupun susunan tidak mungkin berubah.
Manusia dapat berubah. Tatanan hubungan antara manusia tidak berubah
Tatanan hubungan antar manusia harus diubah oleh manusia
SIKAP TERHADAP PERUBAHAN
Perubahan  itu tidak mungkin
Perubahan hanya terjadi pada pribadi
Perubahan terjadi pada tata hubungan
PANDANGAN PADA KEKUASAAN
§ Alat untuk menjaga agar tetap menjadi apa adanya.
§ Milik lembaga-lembaga yang berkuasa
§ Alat untuk memberi kebebasan bagi yang mampu me-ngembangkan diri & membantu bagi yang tidak mampu secara pribadi.
§  Milik pribadi
§ Daya dorong perubahan hubungan antar manusia.
§ Milik rakyat
TITIK BERAT KESADARAN
Kesadaran akan kedu-dukannya, akan lem-baga-lembaga yang sah dan resmi seperti pemerintah sebagai tempat yang memberi arti kepada dirinya
Kesadaran tentang nilai pribadinya sendiri sebagai sebuah kemungkinan untuk berkembang secara bebas
Kesadaran akan kebersamaan, terlebih dengan sesamanya yang mengalami nasib sama
UNGKAPAN
NILAI YANG BISA DIJADIKAN IDEOLOGI
Stabilitas, keharmonisan, keselarasan dan ketentraman
Pembangunan dan perkembangan
Dinamika, solidaritas dan pemerataan.
PANDANGAN TENTANG AGAMA
Alat untuk mempertahankan struktur masyarakat yang sudah ada. Agama menjadi ideologi.
Dasar dan motivasi pribadi untuk berkembang secara pribadi dan dasar untuk berbuat amal
Kesempatan untuk menyadari harga diri manusia sebagai pelaku sejarah. Agama memiliki fungsi profetik.
PANDANGAN TENTANG KEMISKINAN
Kemiskinan harus ada sebagai nasib yang tak terelakkan. Paling-paling manusia dapat berusaha untuk mencoba agar tidak menjadi miskin
Kemiskinan memang ada tetapi dapat dirubah. Kemiskinan adalah akibat dari kegagalan tiap individu (maalas, pasif, bodoh)
Kemiskinan tidak boleh ada, itu bukan nasib. Ke-miskinan seke-lompok orang adalah akibat langsung dari ke-kayaan sekelom-pok lain yang kaya.
SIKAP TERHADAP KAUM MISKIN
Perlu diberi nasehat rohani agar dapat menerimanya dengan tabah. Mereka boleh mengharap pahala di akhirat.
Secara pribadi perlu dibantu oleh orang yang kaya agar menolong dirinya (biasanya dengan pendidikan). Kalau tidak dapat perlu dibantu secara karikatif (dipenuhi kebutuhan dasarnya)
Orang miskin adalah mereka yang karena orang-orang kaya sehingga mengalami pemiskinan. Orang miskin harus bersama membebaskan diri dari belenggu itu.
PERANAN KAUM TERDIDIK
Kaum akademisi\para ahli di bidang sains, atau politisi yang membantu mereka dalam mempertahankan status quo
Mereka yang menguasai profesi mereka, dapat bekerja baik dalam sistem yang tersedia atau menciptakan sisitem yang lebih bebas.
Menjadi pemikir tentang masya-rakat berdasarkan pengalaman langsung dengan manusia yang menderita. Yang dapat bersikap inspiratif terha-dap nilai keber-samaan & kritis terhadap kekua-saan. Dikenal sebagai kaum intelektual\cendekiawan
PANDANGAN TERNTANG MAHASISWA
Orang yang berbakat yang perlu memperkembang-kan bakatnya untuk kemudian ikut memper-tahankan tata sosial yang ada, membantu memper-tahankan status quo, perlu dibina sejak dini.
Orang yang berbakat yang perlu diberi kebebasan untuk menjadi profesional sekaligus mampu membantu korban secara karikatif.
Cendekiawn\intelektual. Posisi yang belum termasuk salah satu golongan,punya kekuatan untuk merubah secara radikal.




BAB V



ISLAM SEBAGAI TEOLOGI PEMBEBASAN





V.1 Sejarah dan Perkembangan Teologi Pembebasan



Teologi Pembebasan pada awalnya muncul di Eropa abad kedua puluh dan menjadi studi penting bagi agama-agama untuk melihat peran agama untuk membebaskan manusia dari ancaman globalisasi dan menghindarkan manusia dari berbagai macam dosa sosial, serta menawarkan paradigma untuk memperbaiki sistem sosial agi manusia yang telah dirusak oleh berbagai sistem dan idiologi dari perbuatan mansuai sendiri (Wahono, 2000 : I ). Perkembangan Teologi Pembebasan di Eropa lebih pada pemikiran, sedangka di Amerika Latin dan Asia pada pemikiran ke gerakan untuk melawan hegemoni kekuasaan yang otoriter. Teologi pembebasan di Amerika Latin merupakan bagian dari gerakan para agamawan melawan hegemoni kekuasaan negara totaliter.

Seperti yang pernah dinyatakan oleh Leonardo Boff, Teologi Pembebasan adalah pantulan pemikiran, sekaligus cerminan dari keadaan nyata, suatu praksis yang sudah ada sebelumnya. Lebih tepatnya, masih menurut Boff, ini adalah pengungkapan atau pengabsahan suatu gerakan sosial yang amat luas, yang muncul pada tahun 1960-an yang melibatkan sektor-sektor penting sistem sosial keagaman, seperti para elit keagamaan, gerakan orang awam, para buruh, serta kelompok-kelompok masyarakat yang berbasis keagamaan (Lowy, 1999 : 27).

Teologi Pembebasan adalah produk kerohanian. Dan harus diakui, dengan menyertakan di dalamnya suatu doktri keagamaan yang benar-benar masuk akal, Teologi Pembebasan telah memberikan sumbangsih yang amat besar terhadap perluasan dan penguatan gerakan-gerakan tersebut. Doktrin masuk akal itu telah membentuk suatu pergeseran radikal dari ajaran tradisional keagaman yang mapan. Beberapa diantara doktrin itu adalah ; 1). Gugatan moral dan sosial yang amat keras terhadap ketergantungan kepada kapitalisme sebagai suatu sistem yang tidak adil dan menindas, 2) Penggunaan alat analisis Marxisme dalam rangka memahami sebab-musabab kemiskinan, 3) pilihan khusus pada kaum miskin dan kesetiakawanan terhadap erjuangan mereka menuntut kebebasan, 4) Suatu pembacan baru terhadap teks keagamaan, 5) Perlawanan menentang pemberhalaan sebagai musuh utama agama 6) Kecaman teradap teologi tradisional yang bermuka ganda sebagai hasil dari filsafat Yunani Platonis.

Kehadiran Teologi Pembebasan pada awalnya adalah untuk mengkritisi “pembangunan” yang dilakukan negara terhadap rakyatnya. Pembangunan yang dilakukan oleh negara yang didukung oleh institusi kuat seperti militer dan isntitusi agama yang semata meligitimasi kepentingan negara.

Perkembangan teologi pembebasan di Indonesia sangat lambat. Hal ini disebabkan oleh faktor negara yang represif dan kuat. Teologi Pembebasan yang dilakukan di Amerika Latin telah menunjukkan keberhasilan dalam memperjuangkan hak keadilan bagi masyarakat kecil. Pertarungan antar negara, istitusi agama dengan elit agama di luar institusi, dan rakyat yang tertindas menyatu mendapat kemenangan dan meruntuhkan rezim yang kuat.



V.2 Visi Pembebasan Islam



Unsur-unsur pembebasan dalam Islam dapat dilacak kembali sampai pada Nabi sendiri dan pengalamannya. Pada zamannya, Mekkah adalah suatu kota dagang dengan sedikit pedagang kaya tetapi banyak orang miskin yang penghidupannya tergantung pada pendapatan mereka yang kecil dari pekerjaan melayani karavan-karavan dagang yang melalui kota itu. Orang-orang masih bodoh dan bertakhayul, menyembah banyak sekali ilah. Para perempuan ditindas, bahkan mereka dapat dikubur hidup-hidup (Q.S. 81 : 8-9). Ada banyak budak, para janda dan anak

yatim diabakan. Nabi sendiri berasal dari keluarga miskin, meskipun bangsawan. Ia diutus oleh Allah untuk membebaskan rakyat dari kebodohan dan penindasan. Ia dipaksa oleh kaumnya melarikan diri dari Mekkah ketika pesannya yang membebaskan ditolak. Dengan bimbingan Nabi, orang-orang Arab, di samping membebaskan diri mereka sendiri, juga berusaha membebaskan orang-orang dari kerajaan Romawi dan Sasania yang menindas (Engineer, 1990 : 28-30). Dari praksis inilah tradisi pembebasan Islam muncul.

Muhammad (570 – 632 Masehi), yang secara harfiyah berarti manusia yang terpuji, adalah nabi terakhir dan merupakan revolusioner pertama di zaman modern ini. Dia membebaskan budak-budak, anak-anak yatim dan perempuan, kaum yang miskin dan lemah. Perkatannya yang mengandung wahyu menjadi ukuran untuk membedakan yang benar dari yang salah, yang sejati dari yang palsu, dan kebaikan dari kejahatan. Misinya sama dengan nabi-nabi terdahulu; supremasi kebenaran, kesetaraan dan persaudaraan manusia (Haque, 2000 : 216).

Nabi Muhammad mendirikan sebuah tatanan sosial yang egaliter di mana alat-alat produksi yang mendasar dikuasai umum dan dimanfaatkan oleh semua orang secara kolektif karena semua komunitas yang berdasarkan pada kebenaran dan kesetaraan tidak mengenal penguasaan pribadi atas sumber-sumber daya seperti sumber air, tambang-tambang, kebun buah-buahan dan lain-lain, yang kepadanya masyarakat menggantungkan hidup dan kebutuhan-kebutuhan dasar.

Untuk meningkatkan kesetaraan sosial dan persaudaraan manusia, Muhammad Saw., dengan ajaran-ajaranya, mendorong emansipasi kaum budak. Para pemeluk agama Islam yang pertama terutama adalah budak-budak, mawali (budak yang telah dimerdekakan), para wanita dan anak-anak yatim. Sehingga banyak sahabat yang dulunya adalah seorang budak. Mereka diantaranya adalah Bilal, Syu’aib, salman, Zaid bin Haritsah, Abdullah ibn Mas’ud, dan ‘Ammar bin Yassir (Ibid : 226).

Konsepsi teologis tentang tauhid sesungguhnya adalah konsepsi tentang prinsip-prinsip atau nilai-nilai luhur yang menjaga kehidupan manusia di muka bumi ini; kebenaran, kasih sayang, ketulusan, kebaikan, kesetaraan, dan persaudaran manusia (Ibid : 39). Muhammad pembawa risalah dalam riwayat hisorisnya mempersembahkan hidupnya untuk menyatakan kebenaran dan membangun sebuah tatanan sosial yang didasarkan pada prinsip-prinsip dan nilai-nilai luhur tadi.

Nabi berjuang melawan kekuatan-kekuatan tersebut, yaitu kekuatan-kekuatan yang memecah belah umat manusia ke dalam faksi-faksi, kelas-kelas dan kelompok-kelompok yang saling bertikai, dimana kelas yang satu menindas kelas yang lain. Mereka bergelut melawan diskriminasi kelas, ketidakdilan, tirani, dan penindasan.

Nabi Muhammad berjuang dengan gigih dan gagah berani membebaskan umat manusia yang menderita karena perbudakan oleh orang-orang yang zalim, orang yang mengeksploitasi orang lain, para bangsawan, para pemilik budak dan para ahli agama. Mereka mengangkat harkat manusia dari jurang tahayul, kelemahan dan ketidaksempurnaan yang disebabkan oleh syirik, rasa takut, nafsu yang liar, egoisme, arogansi dan nafsu kebendaan (Ibid : 45).

Nabi-nabi sebelum Muhammad seperti Musa, Isa, Ibrahim dan yang lainnya, adalah pemberontak dan revolusioner yang melakukan revolusi melawan penindasan, diskriminasi kelas, korupsi, dan kezaliman pada lingkungan sosialnya masing-masing. Mereka berjuang sepanjang hidupnya untuk kebenaran, kesetaraan, keadilan, dan kebaikan. Dalam al-Qur’an disebutkan bahwa tujuan perjuangan mereka adalah menghapuskan penindasan (zulm) dalam segala bentuknya :

“Sebelum mereka kami sudah mengutus orang-orang yang kami beri wahyu. Tanyakanlah kepada mereka yang berilmu jika kamu tidak tahu. Kami tidak memberikan tubuh kepada mereka yang tidak memakan makanan, dan mereka tidak pernah hidup kekal. Kemudian Kami penuhi janji kami dan Kami selamatkan mereka dan siapapun yang Kami sukai; tetapi Kami binasakan mereka yang sudah melampui batas. Kami telah mewahyukan kepadamu (hai manusia !) sebuah kitab yang bersi pelajaran bagimu; tidaklah kamu mengerti ? Dan sudah ebrapa banyak penduduk yang Kami hancurkan karena perbuatan mereka yang sewenang-wenang, dan Kami adakan sesudah mereka kaum yang lain ! Setelah mereka merasakan azab dari Kami, ternyata mereka lari menghindarinya. Jangankan kamu lari, tetapi kembalilah kepada kesenanganmu, dan tempat-tempat tinggalmu, supaya kamu dapat ditanyai. Mereka berkata; “Ah, memang kami dulu berbuat sewenang-wenang!” Memang itulah keluhan mereka selalu, sehingga kami jadikan mereka seperti tanaman habis dituai, padam dan tak dapat hidup lagi.” (Q.S. al-Anbiya’ : 7 – 15)

Secara harfiyah, dzulm berarti memindahkan/meletakkan sesuatu atau seseorang pada tempat yang tidak semestinya, atau mencabut sesuatu atau seseorang dari bagian atau haknya yang semestinya. Jadi dzulm adalah sesuatu disequilibrium (ketidakseimbangan), disharmoni, penghapusan, atau gangguan dalam tatanan alam, harmoni, harmoni atau equilibrium segala sesuatu.

Seorang manusia yang mengingkari kebenaran, menolak kesetaraan sosial atau keadilan adalah seorang dzalim, seorang penindas yang mengingkari nilai-nilai luhur kehidupan manusia yang harmonis dan setara; dia adalah seorang kafir, yang mengingkari kebenaran dan kesetaraan dari Allah. Seorang jahat yang menggunakan kekuatan terbuka untuk membunuh yang lemah, adalah seorang dzalim atau penindas yang mencabut manusia lain dari hak asasinya untuk hidup dan dihormati.

Al-Qu’an mendefinisikan dzalimun, para penindas, adalah orang-orang yang mengingkari Allah (juga kebenaran, keadilan dan kesetaraan) (Q.S al-Baqarah : 254). Mereka adalah “ yang ingkar akan tanda-tanda Allah dan membunuh nabi-nabi tanpa sebab dan membunuh mereka yang menyuruh orang berbuat adil ..” (Q.S. Ali Imran 21) (Ibid : 45). Al-Qu’an mengumpamakan keadaan para penindas itu seperti panen yang gagal karena dirusak oleh hawa yang membeku :

“Mereka yang kafir, harta dan anak-anak mereka yang sedikitpun tak berguna dalam pandangan Allah. Mereka menghuni api neraka, di sana mereka tinggal selama-lamanya. Perumpamaan segala apa yang mereka nafkahkan dalam hidup di dunia ini seperti angin dingin menimpa tanaman suatu golongan yang menganiaya diri. Bukan Allah yang menganiaya mereka tetapi mereka menganiaya diri sendiri.” s( Q.S. Ali Imran : 116 – 117)



 


V.3 Dari Teologi ke Praksis




Banyak sekali pemikir Islam yang begitu membicarakan tentang persinggungan antara Islam dengan pembelaan terhadap rakyat dengan jargon yang dianggap berbau komunistik–seperti rakyat, keadilan, kemiskinan—disalahpahami dan dicurigai. Seorang Hassan Hanafi dituduh macam-macam bahkan dianggap sesat dan kafir, lepas apakah pemikirannya benar ataupun salah.

Tetapi bukankah sejarah Islam mencatat betapa banyaknya kisah tokoh Muslim yang begitu peduli dengan hal-hal yang berbau keadilan, kemiskinan, dan kerakyatan ? Dari awal, Rasulullah sudah mencanangkan kemerdekaan hamba dari yang selain Allah, termasuk anjuran menghapuskan perbudakan. Bahkan beliau, dalam doanya, menyamakan kekufuran dan kefakiran. Khalifah Abu Bakar memerangi orang yang tidak mau membayar zakat. Khalifah Umar pernah membekukan hukum potong tangan ketika musim paceklik. Khalifah Ali berkata, “seandainya kemiskinan itu adalah seorang makhluk, niscaya sudah kubunuh”.

Seorang Ali Shariati, seorang pengagum dan pengkritik Karl Marx, menyatakan bahwa memang dalam sejarah selalu ada pertarungan dua pihak, Penguasa yang zalim dengan Islam yang membela kaum tertindas. Dalam sejarah, kata Ali, betapa banyak kisah pembelaan terhadap kaum lemah dan tertindas (mustad’afin), seperti kisah Nabi Daud, Musa, dan Muhammad. Dia juga mengatakan Islam Kanan yang membungkus agama untuk berlindung dibawah kemapanan kekuasaan yang dzalim, dan Islam Kiri yang memakai Islam sebagai kritik dan alat menghancurkan kedzaliman dan membela orang kecil. (Syari’ati, 1998 : 45). Dalam sejarah kita, Syarikat Islam terkenal amat dekat dengan rakyat. Isu kerakyatan dan buruh amat kental terasa, misalnya pemogokan dan pemberontakan petani. Bahkan cikal bakal Partai Komunis Indonesia mendompleng menbangun kader dari gerakan ini. Berbagai tarekat juga turut andil dalam pengursiran penjajah.

Di Mesir, Gerakan Ikhwanul Muslimin bergerak di kelas bawah, ke buruh-buruh. Bahkan gerakan fenomenal ini sempat beraliansi dengan Partai Sosialis setempat. Di Indonesia, Masyumi juga sangat erat dengan Partai Sosialis Indonesia. Sayang sekali, jarang ada buku dan tulisan tentang keterkaitan ajaran Islam dengan permasalahan umat kelas bawah ini. Sedikit sekali, misalnya karya Yusuf Qardhawi tentang pengetasan kemiskinan dan zakat sebagai solusinya (Qardlawi, 1998). Atau Sayyid Quthb dengan “Keadilan Sosial dalam Islam”. Selebihnya, sebagian besar hanyalah fiqh ibadah ritual dari wudlu ke haji. Memang fiqh tentang hal-hal itu penting, tetapi Islam tidak hanya berisi hal-hal syariat dan fiqh mahdhah semata.

Ashgar mengingatkan tentang bekal ajaran Islam yang sangat erat dengan Teologi Pembebasan, yaitu Persaudaran Universal, kesetaraan, keadilan sosial. Tidak tanggung-tanggung Asghar mengambil contoh dari Uswah terbaik, Rasulullah ((Q.S. al-Ahzab : 21), (Q.S. al-Qolam : 4), dalam menerapkan Teologi Pembebasan itu dan membebaskan manusia dari penindasan dan penyembahan kepada selain Allah. (Engineer, 1999 : 28)


BAB VI



MANAJEMEN FORUM DAN TEKNIK PERSIDANGAN



VI.1 Pengertian Manajemen Forum

Dalam suatu forum, dikenal istilah manajemen forum. Manajemen forum adalah suatu bentuk pengaturan situasi atau keadaan peserta maupun bahan diskusi di dalam forum rapat atau musyawarah. Suatu ‘tujuan’ terkadang dapat tercapai bahkan seringkali terealisasi melalui manajemen forum ini.

Seberapa penting dilakukan? Strategi perjuangan sebuah organisasi banyak sekali caranya dalam upaya mengegolkan suatu tujuannya dalam permusyawaratan. Ada pembentukan opini, manajemen konflik, ada opini publik, juga ada manajemen forum. Bagaimana suatu forum dikondisikan sedemikian serupa sehingga terbentuk kondisi atau situasi yang dapat memudahkan sekelompok orang atau suatu organisasi dapat tercapai tujuan yang diinginkan.

Langkah-langkahnya dapat berupa main gertak, main pukul meja atau lempar kursi, hal itu kalau cara yang kasar. Ada pula cara yang lembut seperti dengan memberikan pernyataan yang bertele-tele, atau memainkan waktu diskusi. Dapat pula dengan saling memberikan justifikasi pada pendapat rekan yang yang memiliki pandangan maupun visi yang sama dalam forum tersebut. Dan seringkali terjadi adalah adu debat hanya untuk sebuah manajemen forum.

Lantas, apa gunanya manajemen forum? Banyak, dan penting untuk dicoba. Untuk memberikan penekanan suatu titik permasalahan atau hal yang ingin disampaikan. Misalnya tentang Kriteria seorang Ketua. Di situ disampaikan secara berulang-ulang walau materi penyampaiannya terkadang dibuat melebar atau potong permasalahan yang kemudian kembali difokuskan lagi. Yang intinya kriteria versinya dapat diakomodir dalam suatu forum diskusi atau permusyawaratan.

Semua hal memiliki 2 buah sisi, positif dan negatif dan lagi-lagi semua ilmu yang ada di dunia ini pada penggunaanya akan dikembalikan lagi pada niat pelakunya, apakah ilmu itu akan digunakan untuk mencapai kemaslahatan bersama yang lebih besar atau hanya sekedar mengacau bahkan mengarah pada menggolkan kepentingan individu dan golongan tertentu dengan cara men-setting forum yang ada dengan sedemikian baik. Yang terpenting adalah bagaimana kemudian bahasa-bahasa yang digunakan masih berada pada lingkaran etis dan tetap memakai pola pikir terdidik dan bijaksana.

Persidangan resmi dilaksanakan atas dasar konstitusi dan atau kebutuhan forum. Didalam persidangan resmi tersebut tentu pula ada tata tertib dan juga aturan main yang harus dipatuhi, agar sidang yang akan dilaksanakan dapat berjalan dengan tertib, teratur serta menghasilkan keputusan yang bersih, terpadu, dan sesuai dengan kehendak bersama.



VI.2 Pengantar Teknik Persidangan

Proses pengambilan keputusan (decision making) dalam sebuah organisasi merupakan hal yang penting serta memiliki posisi strategis, terutama apabila organisasi tersebut dihadapkan pada persoalan yang sulit serta mengancam stabilitas kelangsungan organisasi tersebut. Sebagai organisasi yang memiliki warna demokrasi seperti halnya organisasi kemahasiswaan, langkah decision making senantiasa diperlukan melalui jalan musyawarah antar anggota atau musyawarah pengurus.

Secara etimologi sidang menunjukkan pada subjek yang terlibat dalam suatu pertemuan yang resmi seperti sidang pimpinan/anggota, sidang hakim, sidang jum’at dan sebagainya. Tujuan yang hendak dicapai dalam persidangan adalah usaha komunikasi guna mencapai kesepakatan tertentu yang bermuara pada proses pencapaian tujuan organisasi secara mufakat. Persidangan yang dilaksanakan melalui jalan musyawarah tersebut menuntut adanya kesepakatan-kesepakatan yang telah disetujui bersama oleh peserta sidang.

Sidang atau musyawarah atau rapat adalah suatu pertemuan untuk memutuskan suatu perkara atau masalah. Persidangan diartikan sebagai suatu forum yang dilaksanakan secara formal oleh suatu lembaga, organisasi atau unit-unit lain dengan suatu persoalan atau menyangkut pertanggung jawaban pengurus organisasi pada masa akhir kepengurusannya. Persidangan adalah termasuk jenis diskusi karena didalamnya terdapat interaksi antara peserta sidang untuk merumuskan suatu tujuan tertentu. Istilah persidangan memiliki nilai yang lebih sekedar diskusi karena didalam persidangan menghasilkan sesuatu yang akan memiliki kekuatan hukum. Hal itu dikarenakan bahwa persidangan biasanya dilakukan oleh lembaga-lembaga formal atau nonformal yang menempatkan persidangan sebagai forum tertinggi. Jadi persidangan sifatnya lebih formal dan isi pembicaraannya lebih bersifat politik legal serta menghasilkan keputusan-keputusan politik yang mengikat banyak orang serta kepentingan.

Persidangan biasanya sangat alot, karena isi pembicaraan begitu komplek serta berhubungan dengan tujuan ideal yang akan dicapai. Selain itu dikarenakan banyaknya kepentingan yang muncul sehingga tidak heran apabila suatu persidangan sangat alot dan kecenderungan panas yang mengundang kontak fisik. Gesekan-gesekan dalam situasi persidangan adalah suatu hal yang biasa karena didalamnya terjadi proses dialog atau debat untuk merasionalkan suatu hal sehingga sering pula persidangan disebut “perang dinging atau perang kata”.


VI.3 Prinsip-prinsip Persidangan

Dalam usaha mencapai suasana persidangan yang diharapkan, maka harus memperhatikan faktor-faktor yang menunjang lancarnya persidangan yang meliputi:

  1. Akan kejelasan dan fokus masalah atau kasus dalam pokok persoalan yang akan dibahas.
  2. Dilaksanakan dalam suasana yang terencana dari segi waktu, tempat, maupun kesempatan.
  3. Dilandasi oleh sikap saling menghargai dan menghormati yang ditunjang dengan itikad baik untuk bersama-sama memikirkan kepentingan organisasi.
  4. Terlepas dari kepentingan pribadi dan ambisi pribadi yang berlebihan.
  5. Adanya komunikasi yang dinamis dan dijiwai semangat musyawarah mufakat.
  6. Konsisten dan konsekuen terhadap hasil-hasil persidangan secara mufakat.
  7. Etika persidangan adalah sikap atau prilaku yang harus dimiliki oleh setiap peserta sidang. Hal hal yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan sidang adalah:
    1. Saling menghormati dan menghargai antar peserta sidang selama persidangan berlangsung
    2. Tidak memaksakan pendapat
    3. Bersikap sopan santun
    4. Bersikap lapang dada
    5. Disiplin
  8. Retorika adalah gaya bahasa yang digunakan dalam mengemukakan pendapat, pernyataan atau pertanyaan. Hal-hal yang harus diperhatikan ketika berbicara dalam suatu persidangan adalah:
    1. Intonasi suara harus jelas dan tegas
    2. Tidak berbicara bohong atau harus sesuai dengan fakta dan data yang benar
    3. Tidak mengeluarkan kata-kata yang bersifat SARA
    4. Dalam mengemukakan pendapat tidak bertele-tele dan membingungkan peserta siding
    5. Bahasa yang digunakan mudah dipahami dan dimengerti oleh peserta siding
    6. Dalam mengambil keputusan harus berdasarkan kesepakatan bersama (suara fraksi)











VI.4 Komponen Persidangan



Kelengkapan persidangan terdiri dari: pimpinan sidang, notulen,  ruang sidang, palu sidang, draft atau konsideran, alat dan bahan yang dapat menunjang jalannya persidangan seperti, pengeras suara, meja, kursi, alat tulis, kertas suara, kotak suara, dan sebagainya.

Bentuk pimpinan sidang terdiri dari dua macam yakni:

  1. Pimpinan Sidang Tunggal

Pimpinan sidang tunggal terdiri dari: ketua, wakil ketua dan sekretaris yang pada pelaksanaannya dapat diganti setiap session oleh anggota persidangan.

  1. Pimpinan Sidang Presidium

Pimpinan sidang presidium adalah onggota persidangan yang ditugaskan dalam persidangan dari mulai awal persidangan hingga akhir persidangan dan bersifat sementara. Biasanya berjumlah ganjil yaitu 3 atau 5 orang yang keseluruhannya disebut pimpinan-pimpinan presidium atau anggota presidium. Tugas presidium sidang yaitu mengatur jalannya sidang secara umum baik itu pengaturan lalu-lintas pembicaraan, memberikan kesempatan berbicara, menjatuhkan sanksi, peringatan, memberikan tekanan pada persoalan penting, menjelaskan rasionalisasi masalah dan sebagainya. Jika komponen sidang terpenuhi, maka langkah selanjutnya adalah bagaimana mengatur mekanisme persidangan dengan baik.



VI.5 Fungsi, Tugas, Hak dan Kewajiban Komponen Persidangan



A.    Pimpinan Sidang



  1. Tugas Pimpinan Sidang

-       Memimpin jalannya persidangan agar berjalan tertib dan aman

-       Mempertemukan pendapat yang berbeda, menyimpulkan pembicaraan dan mendudukkan persoalan yang sebenarnya serta mengembalikan pada pokok permasalahannya

  1. Hak Pimpinan Sidang:

-       Mengatur urutan pembicaraan

-       Menetapkan waktu pembicaraan

-       Meluruskan pembicaraan yang menyimpang dari pokok permasalahan.

  1. Kewajiban Pimpinan Sidang:

-       Mengendalikan proses persidangan

-       Mencatat proses dan hasil-hasil persidangan

-       Membuat laporan dan hasil-hasil persidangan

-       Menetapkan hasil persidangan



B.     Peserta Sidang:



1.      Hak Peserta Sidang:

-          Mengeluarkan pendapat baik secara lisan dan atau tulisan

-          Memperoleh prioritas yang sama tanpa adanya diskriminasi





  1. Kewajiban Peserta Sidang:

- Menjaga kelancaran persidangan

-   Mempertanggung jawabkan statemen yang diajukan



C.     Hak Pers dan Peninjau

Hak dari Pers dan Peninjau hanyalah sebagai pengawas forum persidangan.



D.    Ruang siding

Ruang  sidang berfungsi sebagai forum pembahasan draf dan efektifitas persidangan.



E.     Palu Sidang

Palu sidang berfungsi untuk pertanda hasil keputusan, mencabut keputusan, membuka persidangan, menutup persidangan, menenangkan forum, dll.



F.      Draf Agenda berfungsi sebagai:

a.       Lembar kesepahaman / pembahasan

b.      Bukti autentik guna mendukung keteraturan siding

c.       Lembar rekomendasi



G.    Isi Draf Agenda

a.     Agenda acara

b.    LPJ (dalam Sidang Pleno)

c.     Rekomendasi Organisasional (dalam Sidang Komisi)

d.    AD/ART (dalam Sidang Umum/ Sidang Tahunan)

e.     Tata Tertib Persidangan

f.     Job Describtion Hierarkis (dalam Sidang Tahunan)



VI.6 Mekanisme Persidangan



Dalam praktek persidangan ada beberapa istilah yang sering digunakan baik oleh peserta maupun oleh pimpinan sidang sebagai aturan tertib sidang diantaranya:

  1. Ketukan palu sidang

Dalam persidangan, hal yang penting yang tidak bisa dipisahkan dari suatu proses pengambilan keputusan yaitu palu sidang. Pentingnya palu sidang ini dari segi peran dan fungsinya oleh karena itu sering disebut nyawa dari persidangan. Aturan ketukan palu sidang untuk mengatur jalannya persidangan harus diperhatikan oleh seseorang pimpinan sidang agar tidak membawa masalah berikutnya. Pimpinan sidang dituntut waswas dalam menentukan ketukan palu sidang tersebut yang sebenarnya merupakan senjata bagi pimpinan sidang apabila digunakan secara benar. Adapun aturan penggunaan adalah sebagai berikut.

a.       Satu ketukan : Hasil kesepakatan

b.      Dua ketukan: Mencabut hasil keputusan, pending, membuka & menutup sidang

c.       Tiga ketukan: Menetapkan keputusan akhi

d.      Empat ketukan: Menertibkan sidang

  1. Lobying

Proses pembicaraan informal peserta sidang diluar acara persidangan apabila suatu keputusan atau kesepakatan tidak dapat dicapai dalam persidangan. Terlebih dahulu persidangan diskor/dihentikan oleh pimpinan sidang dengan waktu yang ditentukan.

  1. Skorsing

Skorsing persidangan dapat dilakukan apabila menghadapi permasalahan dalam persidangan baik berupa penyegaran, deadlock ataupun menghadapi keadaan darurat dan gangguan pembicaraan. Hal ini dilakukan oleh pimpinan sidang dengan jalan menghentikan persidangan dengan waktu yang ditentukan.



  1. Usul

Usul yaitu keinginan dari peserta sidang atau pimpinan sidang pada saat persidangan berlangsung.

  1. Interupsi

Interupsi adalah memotong pembicaraan peserta atau pimpinan sidang oleh peserta sidang. Dilihat dari kekuatannya, interupsi dari peserta sidang tidak dapat ditolak oleh pimpinan sidang dan harus diberikan waktu interupsi.Sedangkan usul boleh ditolak atau tidak dapat diberikan kesempatan sama sekali oleh pimpinan sidang untuk dikemukakan. Adapun macam-macam interupsi adalah:

a.       Point of Order

Yaitu memotong pembicaraan orang lain atau mengusulkan kepada pimpinan sidang meminta bicara tentang persoalan yang sedang dibicarakan.

b.      Order

c.       Yaitu memotong pembicaraan orang lain atau mengusulkan kepada pimpinan sidang untuk memberi tawaran atas apa yang menjadi topik pembicaraan



d.      Information

Yaitu memotong pembicaraan orang lain atau mengusulkan kepada pimpinan sidang untuk memberikan informasi kepada peserta sidang.

e.       Correction

Yaitu memotong pembicaraan orang lain atau mengusulkan kepada pimpinan sidang untuk menjelaskan atau meluruskan permasalahan yang sedang di bahas.

f.       Solution

Yaitu memotong pembicaraan orang lain atau mengusulkan kepada pimpinan sidang untuk menawarkan solusi



VI.7 Mekanisme Persidangan yang Ideal



1.    Memperhatikan Ketepatan Waktu, hal ini dimungkinkan untuk memperhatikan efektifitas serta efisiensi sidang (keputusan, suprastruktur serta infrastruktur persidangan).

2.    Memperhatikan Quorum, Persidangan ideal harus dihadiri dan atau disetujui oleh 2/3 anggota Quorum.

3.    Memperhatikan Demokratisasi, artinya persidangan harus saling menghargai dan menghormati konstitusi forum.

4.    Memperhatikan Visi Persidangan, Persidangan haruslah mempunyai niatan yang baik untuk menyelesaikan permasalahan (Timokrasi).



VI.8 Macam-macam Persidangan



1.      Sidang Pleno: Sidang untuk membahas hasil kesepakatan

2.      Sidang Komisi: Sidang rekomendasi organisasional

3.      Sidang Istimewa: Sidang yang diadakan sesuai kesepakatan hierarki

4.      Sidang Luar Biasa: Sidang untuk membahas perubahan hasil konstitusi

5.      Sidang Paripurna:  Sidang keputusan akhir

6.      Sidang Umum/ Tahunan : Sidang yang membahas LPJ dan atau AD/ART sebagai rekomendasi tahun berikutnya

7.      Mubes: Sidang lima tahunan untuk membahas perubahan struktur hierarkis



VI.9 Quorum dan Pengambilan Keputusan



1.      Quorum

g.    Sidang dianggap sah apabila dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari peserta sidang

h.    Apabila point 1 tidak terpenuhi, maka sidang akan ditunda sesuai dengan kesepakatan forum

i.      Apabila point 2 tidak terpenuhi, biasanya sidang akan tetap dilanjutkan dengan semestinya

2.      Pengambilan Keputusan:

a.       Setiap pengambilan keutusan diusahakan melalui Musyawarah Mufakat

b.      Apabila point 1 tidak terpenuhi, maka diadakan Lobbying antara pihak yang berbeda pendapat

c.       Apabila point 2 tidak terpenuhi, maka diadakan Voting

d.      Pengambilan keputusan melalui Voting dilakukan dengan bebas, jujur dan adil serta bertanggung jawab






BAB VII



RENCANA, STRATEGI DAN MANAJEMEN AKSI



VII.1 Pengantar Manajemen Aksi



Hal yang paling dasar dalam PMII adalah pembekalan dirinya dengan kapasitas intelektual yang memadai. Karena tanpa dasar konsepsional yang jelas, gerakan PMII juga tidak akan menemukan kejelasan pada wilayah strategi dan taktik gerakannya. Apalagi, asumsi dasar pergerakan adalah berawal dari konteks yang bernama pendidikan. Muh. Hanif Dakhiri dan Zaini Rahman (2000), mengutip Ben Agger (1992), mengatakan bahwa titik berangkat paling strategis bagi PMII adalah mentransformasikan kehidupan intelektual sebagai investasi soial, politik dan kebudayaan.

Dalam kontkes inilah, semangat liberasi (pembebasan) dan independensi (kemandirian) yang pernah lahir dalam sejarah pemikiran PMII menjadi sebuah rujukan yang cukup signifikan. Wilayah pembebasan dari konteks penindasan, baik dari represifitas otoritas politik (negara-militer-partai), maupun otoritas soial (agama, pendidik,) dan ekonomi (pasar). Dengan filosofi liberasi akan terjadi proses perjuangan melampaui segala beban berat kehidupan demi melanjutkan amanat kemanusiaan, sesuai dengan mandat yang diperoleh dari Nilai Dasar Pergerakan (NDP).

Sejalan dengan semangat liberasi dan independensi di atas itulah, PMII juga harus berperan menciptakan ruang bagi publik (public sphere) yang kondusif untuk mengembangkan kehidupan. Di titik inilah, Free Market of Ideas (FMI) menjadi signifikan untuk diciptakan pada ruang-ruang kemasyarakatan, kenegaraan dan keilmuan. Karena perlawanan terhadap hegemoni negara, ideologi, pasar dan agama harus dihadapi dengan membuka sekian pintu kesadaran yang sengaja dikunci demi kepentingan kekuasaan.

Pada perbincangan tadi, kita sebenarnya sedang bergulat dengan dasar dan semangat pergerakan untuk perlawanan. Dasar pergerakan ini akan menjadi lebih tajam, sebagai sebuah kerangka jawaban bagi persoalan kemasyarakatan apabila kita jeli dalam melihat persoalan yang mengemuka, baik pada level pembacaan situasi global (sit-glob), situasi nasional (sit-nas) maupun situsasi lokal (sit-lok). Maka perbincangan kita akan kita dekatkan dengan pembacaan atas “struktur penindasan” dan “situasi kemasyarakatan” yang ada di dalamnya, yang akhirnya nanti bisa kita jadikan landasan untuk membuat “situasi perlawanan”.



VII.2 Pembacaaan atas Situasi Penindasan dan Kemasyarakatan



Arus utama dalam pembacaan atas situasi penindasan tidak akan bisa dilepaskan dari sebuah era yang dikenal dengan era “globalisasi”. Karena di era inilah, sekarang kita hidup dan menghadapinya dengan segala ketidakpastian. Ilmuwan yang mengkaitakan globalisasi dengan situasi penindasan adalah Deepak Nyyar (1998) yang mengatakan bahwa fase globalisasi dibagi menjadi dua, Pertama, fase imperialisme Inggris yang terjadi pada range 1870 – 1913 yang memakai payung ideologi kapitalisme klasik dengan doktrin yang terkenal dari Adam Smith “leizzis faire” (pasar yang sebebas-bebasnya, tanpa campur tangan negara). Kemudian fase kedua, adalah dekade 70-80an ketika roda perekonomian bergerak ke Amerika Serikat yang mendorongkan semangat yang hampir sama dengan fase sebelumnya di bawah ideologi neo-liberalisme. Mengamini pendapat di atas, James Petras (2001) mengatakan bahwa di dalam globalisasi yang menjadi slogan Barat, sesungguhnya terdapat semangat dan kepentingan imperialisme dengan agenda penguasaan dalam arti yang sangat luas, baik dalam arti material (SDA) maupun mental (SDM) atas dunia ketiga.

Dengan berpijak pada tiga doktrin, yakni Librealisasi (kebebasan dalam arti ekonomik), deregulasi (tidak ada peraturan negara yang mengatur arus lintas barang/jasa dan tidak ada subsidi bagi rakyat) dan privatisasi (BUMN harus dijual pada swasta/pemodal), neoliberaslisme berjalan melewati setiap negara yang sudah tidak berdaya karena lilitan hutang Luar Negri (HLN) . Dengan tekanan HLN, inilah para negara donor-kapitalis (Uni Eropa, USA dan Jepang) membuat peraturan-peraturan yang dipaksakan bagi negara dunia ketiga untuk meliberalisasi kehidupan ekonominya. Lembaga seperti International Monetary Fund (IMF), Paris Club, CGI dan WTO menjadi sangat efektif dalam melakukan kerja-kerja imperialisme dengan baju globalisasi. Setelah penghambat (peraturan Bea dan Cukai dll) bagi perdagangan bebas sudah bisa dikendalikan, perusahaan-perusahaan besar yang dimiliki negara kapitalis yang sering disebut dengan Trans-National Corporation (TNC) dan Multi-National Corporation (MNC) mulai menancapkan kukunya di negeri pertiwi. Pada saat inilah, budaya lokal dan aset kekayaan alam lainnya akan disedot habis oleh para investor asing, dan akhirnya kita jadi terasing di negeri sendiri. Dan yang lebih parah, kita menjadi budak di negeri sendiri dengan upah yang sangat rendah.

Dalam relasi penindasan yang demikian, masyarakat kita sebagian besar tersituasikan pada posisi yang semakin hari semakin memprihatinkan. Petani tidak bisa menjual gabah dan padinya dengan harga yang tinggi karena kalah bersaing dengan padi dari luar. Hal yang sama kita jumpai pada komoditas gula, buah-buahan dan barang keseharian lainnya. Dalam kondisi itu negara sudah tidak berdaya lagi karena tekanan dari Lembaga Donor untuk tidak memberikan subsidi pada rakyat. Kenaikan BBM, Listrik dan telepon adalah imbas dari pemotongan subsidi demi pembayaran hutang. Demikian juga kenaikan biaya pendidikan juga bisa dilihat dari perspektif ini. UU no 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS adalah gambaran dari gelagat negara yang ingin melepas tanggungjawabnya atas subsidi pendidikan, sehingga membuka peluang terjadinya komersialisasi dan kapitalisasi pendidikan. Persoalan bertambah runyam ketika fondasi perekonomian kita semakin lemah dan berimbas pada sektor tenaga kerja yang semakin kehilangan lapangan pekerjaan.

Dalam konteks semakin cepatnya laju dan arus globalisasi, kita malah secara politik masih sibuk dengan pertarungan kepentingan kelompok-kelompk elit yang sebagin besar tidak memihak rakyat. Pertarungan elit, baik di level eksekutif, Legislatif maupun partai yang kadang di antaranya melibatkan kekuatan militer, akhirnya berimbas pada kehidupan sosial politik masyarakat yang terpecah belah. Separatisme, konflik berbasis SARA adalah beberapa contoh yang bisa disebutkan, sebagai imbas dari amburadulnya budaya politik di level negara. Di sisi budaya kita sedang digiring untuk menjadi orang yang tercerabut dari akar sejarah dan budayanya. Kita semakin bangga kalau kita semakin Barat dan bisa meniru mereka pada sisi kehidupan yang sekecil-kecilnya. Kita tidak sadar sedang didorong untuk menjadi orang konsumeris untuk menjadi pelanggan dari pasar yang dibuka oleh orang barat. Watak ini dalam sejarah bangsa kita sering diosebut dengan watak inlander. (Gus Iim ; 2001).

Dampak lain dari globalisai, adalah semakin mengentalnya paham-paham keagamaan yang akhirnya melahirkan gerakan-gerakan fundamentalisme agama. Islam adalah agama yang sering menjadi sorotan dalam kaitannya dengan fenomena ini, terutama dengan kerja-kerja terorisme yang semakin hari semakin merebak. Peristiwa 11 September (black tuesday), Bom Bali, Bom J.W Marriot semakin meyakinkan asumsi bahwa fundamentalisme agama sebagai sebuah resistensi terhadap globalisasi yang sangat West-biased (bias Barat); atau bisa dikatakan fundemantalisme pasar sedang berhadapan dengan fundamentalisme keagamaan (Islam).

Walaupun gerakan fundamentalisme Islam melawan kekuatan kapitalisme Barat, akan tetapi dalam konteks nalar sosial-keagamaannya, pemahaman tekstual (skripturalistik) terhadap ajaran dan doktrin agama sangatlah kental. Ruang-ruang ekspresi kontekstual menjadi semakin sempit, dan ajaran akhirnya dipahami sebagai sesuatu yang sangat kaku dan baku, karena pluralitas tidak menjadi bagian dalam kesadaran tafsir mereka. Sehingga gerakan fundamentalis Islam cenderung gampang mengkafirkan dan menggunakan kekerasan terhadap orang yang tidak satu pendapat dengannya dan menggolongkannya sebagai “the other.

Dari sekian pembacaan atas situasi penindasan dan situasi kemasyarakatan di atas, kita mencoba membuat sebuah pola umum untuk memudahkan membuat sebuah strategi perlawanan dan situasi-situasi apa saja yang harus dibuat. Untuk ini, perlu melihat tulisan Eman Hermawan (2001) yang membagi masyarakat dalam 3 lokus, yaitu : Civil Society (masyarakat sipil: Ormas, LSM, Gerakan mahasiswa, kelompok-kelompok masyarakat lain), Political Society (Masyarakat Politik: negara, partai politik) dan Economical Society (masyarakat ekonomi: Pengusaha Pribumi, Investor, Spekulan, MNC/TNC). Dalam kerangka 3 lokus masyarakat inilah strategi dan taktik gerakan PMII akan dijelaskan dengan tetap memakai kerangka liberasi dan independensi, dengan mendorongkan Free Market of Ideas (FMI) dan menggunakan paradigma yang kritis dan transformatif.



LOKUS MASYARAKAT
STRATEGI GERAKAN
Civil Society
Konteks Kesadaran
¯ Kritis – transformatif
¯ Pluralisme dan berwawasan kebangsaan
¯ Sadar akan bahaya budaya konsumerisme
¯ Kearifan lokalitas dan tradisi
¯ Mengikis budaya patriarkhi yang menyebabkan ketimpangan gender
Konteks Gerakan
¯ Membuat kantong-kantong kritis dengan diskusi kerakyatan
¯ Live In dalam kerangka advokasi dan pendampingan
¯ Membuat ruang-ruang perekonomian rakyat
¯ Memperkuat bergaining politik terhadap masy. politik
¯ Kesenian dan budaya sebagai perlawanan
¯ Aksi massa dalam rangka injeksi kesadaran massa rakyat dan mendesakkan perubahan kebijakan publik

Masyarakat Politik
Negara
¯ Penguatan posisi negara terhadap tekanan pasar dan negara kapitalis dengan regulasi
¯ penegakan supremasi hukum dan pemberantasan KKN
¯ Kemampuan negara untuk mengolah ruang publik menjadi lebih terbuka dan transparan
¯ Penguatan sektor ekonomi untuk tenaga kerja
¯ Legislatif yang peka dan aspiratif
Par-pol
¯ Menolak elitisme par-pol
¯ Membuat ruang bargaining politik dengan parpol
¯ Menolak partai yang berselingkuh dengan modal
¯ Menolak penggunaan aset negara untuk kepentinga partai tertentu
Masyarakat Ekonomi
¯ Pengusaha dan pemodal pribumi yang berpihak pada rakyat
¯ Menciptakan pasar yang berkeadilan dengan tetap ada peraturan bersama (governance)/ doktrin ekonomi ke- Indonesiaan
¯ Membiarkan serikat buruh berdiri sebagai kontrol dan dialektika

Strategi yang masih merupakan pola umum dalam konteks perlawanan, harus diterjemahkan dan dikerucutkan dalam kerja-kerja taktis. Antono Gramsci (1956) membagi 3 wilayah taktik gerakan atau perang (war), yakni : war of position (perang posisi), war of opinion (perang opini) dan war of movement (perang gerakan). ketiga wilayah pergerakan ini menjadi landasan awal untuk membingkai stratak gerakan PMII saat ini.

Konteks pergerakan, minimal dari pelajaran Gramsci di atas, haruslah memenuhi 3 ruang, yaitu ruang penegasan jati diri organ atau posisi sikap sejarah terhadap situasi yang sedang berlangsung, ruang dialektika pemikiran dan gagasan sebagai dasar rasionalitas atas posisi yang dipilih dan ruang praksis yang menjadi indikator perubahan dengan sebuah dorongan konkret baik di level massa kader, maupun massa rakyat.

Secara jelas derivasi taktik dari masing-masing ruang dijelaskan dalam bagan sebagai berikut:

WAR OF POSITION
WAR OF OPINION
WAR OF MOVEMENT
Nilai Dasar Pergerakan

Aswaja

Paradigma Kritis Transformatif

Liberasi, Independensi dan Empowering
Tradisionalisme Kritis
A. Konteks Gagasan
· Tentang masyarakat
· Tentang pasar
· Tentang Negara
B.      Konteks Manajemen Issu
· Basis media
· Basis intelektual kader
· Basis massa (diseminasi gagasan di level masyarakat)
A. Kaderisasi
· Formal
· Non-formal: (Kantong-kantong kader : diskusi, jalanan, organisasi, kesenian dll)
· Informal
B. Pengorganisiran
· Level kampus (antropologi kampus)
· Level organ gerakan
· Level basis massa rakyat
C. Desakan ke otoritas
· Kebijakan publik
· Kuasa sosial-ekonomi
· Kuasa agama



 


 


 


 


 


 




Bagaimanapun gerakan harus dipraksiskan. Seandainya basis massa belum diraih, maka tidak ada alasan untuk diam. Aksi massa harus segencar mungkin dilancarkan untuk mendorongkan semangat perubahan, sekaligus menjadi momentum untuk memberi injeksi kesadaran bagi massa rakyat. Yang harus diperhatiakan dalam aksi massa adalah perangkat aksi dan perlengkapan aksi. Perangkat Aksi/Panitia Aksi:

1.    Lunak : Issu dan tujuan dari aksi massa.

2.    Keras, meliputi kepanitiaan lapangan:

a.    Kordinator Umum (kordum) sebagai penanggungjawb aksi dan pembaca statemen atau pernyataan sikap

b.    Kordinator lapangan (korlap) yang mengatur jalannya massa aksi

c.    Tim materi yang membuat pernyataan sikap, selebaran dan press release

d.   Negosiator untuk melobi aparat, atau segala hal yang ditemui di lapangan

e.    Kurir untuk melihat kondisi di depan, belakang dan samping barisan.

f.     Keamanan / security:

-  Ring dalam untuk mengatur masa aksi

-  Ring luar untuk menjaga massa dari serangan dari luar

g.    Logistik atau konsumsi

h.    Tim Evakuasi yang akan menentukan titik evakuasi kalau ada seranga, dan siap dengan kerja evakuasi atau pengamanan

i.      Tim advokasi untuk mengantisipasi persoalan sampai tingkat persidangan, dengan menghubungi LBH-LBH terdekat

j.      Happening Art

k.    Perlatan dan perlengkapan (perkap) aksi

l.      Megaphone atau pengeras suara

m.  Spanduk

n.    Poster

o.    Bendera organ

p.    Tali Rafia (garis demokrasi/revolusi)

q.    Tanda pengenal atau slayer untuk identitas massa aksi

r.     Selebaran, pernyataan sikap dan press release

s.     Transport dan HP/HT untuk kurir dan keamanan



VII.3 Pengorganisiran dan Mobilisasi Massa


 


Berdasarkan Situasi Nasional

  • Mengorganisir, memobilisasi, menggerakan dan memimpin perlawanan mereka (baik dalam satu isu khusus/lokal :kampung, pabrik, desa, kampus hingga isu umum sektoral bahkan isu umum yang lintas sektor).
  • Membentuk wadah-wadah perlawanan massa permanen.Wadah-wadah permanen ini bila berhasil dijaga dan terus diperbesar akan menjadi kekuatan pelopor kita untuk menggerakan massa secara lebih besar lagi.
  • Mempercepat pengkaderan (rekruitment).



Ketiga proses diatas dilakukan secara bersamaan. Sambil kita mengagitasi dan membuat struktur perlawanan.



1.    Prinsip pengorganisiran:

a.    Agitasi/Propaganda/Kampanye.

Keberhasilan sebuah aksi yang besar dan direncanakan akan sangat tergantung (apalagi bagi organisasi yang masih kecil) dari keberhasilan kerja-kerja agitasi/propaganda/kampanye yang didasarkan pada tuntutan umum massa yang tidak mau dipenuhi oleh pemerintah (lain halnya dengan aksi massa besar yang spontan akibat ledakan, yang tidak mungkin diperkirakan). Keberhasilan dari kerja-kerja ini terlihat dari:

-   Terbangunya atmosfer isu-isu atau tuntutan-tuntutan yang dipropagandakan.

-   Kesiapan (dukungan) massa secara luas untuk terlibat dalam rencana aksi (termasuk menarik aliansi/sekutu/kelompok).

-   Kesiapan subjektif organisasi memimpin aksi ini.

-   Reaksi pemerintah.

-   Bila aksinya terbuka) maka tanggal aksi (serta tempat aksi) juga menjadi populer di massa.



Semua alat-alat propaganda harus selalu dihubungkan dengan perluasaan propaganda isu yang kita pergunakan untuk aksi. Jadi setelah disepakati isunya, maka semua terbitan, poster, statement, diskusi, seminar, selebaran, grafity action (corat-coret) harus dihubungkan dengan hal diatas.



2.    Pengorganisiran




            Kerja-kerja propaganda dan agitasi harus juga sejalan dengan pengorganisiran massa guna persiapan aksi tersebut. Artinya seluruh pengorganisiran massa harus dipergunakan “nantinya” untuk kekuatan aksi yang kita selenggarakan.


            Secara umum “organisir”aksi ini harus terwujud secara massal. Dari mulai mengkonsolidasikan basis kita yang sudah terorganisir hingga perluasaanya. Ini harus menjadi tugas pekerjaan/pengorganisiran bukan saja bagi kader melainkan setiap massa yang terlibat aktif dalam rencana aksi. Sejak awal pengorganisiran harus terbangun jaringan agen/koordinator pengorganisiran (yang akan diperbaiki dalam setiap perkembangan pengorganisiran). Secara ekstrem dapat dikatakan “setiap hari” harus ada tambahan jumlah massa yang bisa diajak aktif untuk acara ini (menjadi organiser). “Setiap hari” harus ada tambahan kontak baru yang mau mengkonsolidasikan tempatnya (tempat tinggal/kerja) untuk diajak ikut rencana aksi ini. “Setiap hari” harus ada kontak perluasaan daerah basis yang bisa diajak dan aktif membangun kekuatan dibasis daerahnya.


a.       Jumlah basis (yang diorganisir dan perluasan/kontak), semua laporan perkota dan basis diatas)dilaporkan kembali.

b.      Laporan kekuatan massa pelopor untuk memimpin/mendorong massa dalam kota/basis terlibat dalam aksi.

c.       Laporan distribusi selebaran, poster dan corat-coret dan distribusinya.

d.      Kesimpulan dari respon/tanggapan/usulan massa di seluruh basis yang diorganisir dan massa umum kaum buruh maupun non buruh.

e.       Respon penguasa, penduduk setempat, aparat dan pemerintah.

f.       Evaluasi pengorganisiran

g.      Evaluasi struktur koordinator/agen/mobilisasi hingga perubahannya.

h.      Rencana kedepan (hingga pertemuan wilayah).



3.    Rapat Umum (semua koordinator dari seluruh tingkatan)

Menjelang hari H akan ada pertemuan besar (seluruh koordinator hingga koordinator terkecil untuk cek kesiapan massa).



4.    Taktik Strategi Atas:

Pada saat ini sangat mungkin untuk mempergunakan strategi atas untuk mendukung dan memaksimalkan kerja-kerja dibawah. Yang dimaksud strategi atas disini bukan saja persoalan kampanye (seperti dalam bentuk seminar terbuka) melainkan melakukan seruan aksi nasional terbuka jauh-jauh hari. Kita tidak akan melakukan ini jika tidak terlihat kesiapan hasil kerja sahabat-sahabat di pengorganisiran. Setelah dilihat kesiapan untuk melakukan mobilisasi umum nasional/wilayah, maka pimpinan pusat/wilayah akan mengeluarkan seruan terbuka tentang aksi itu. Ini dilakukan juga paling cepat satu bulan sebelum aksi dilakukan. Setelah ini harus dilakukan dukungan dari daerah-daerah baik berupa konferensi pers maupun aksi agar terlihat kebesaran dari rencana aksi nasional. Dukungan juga harus datang dari organisasi lain : Mahasiswa, LBH, LSM hingga partai-partai dan tokoh-tokoh. Adanya tanggapan dari pemerintah biasanya akan justru mendorong kampanye kita (memperluas atmosfer agitasi propaganda kita). Kerja-kerja pengorganisiran di bawah dapat lebih terdorong lagi. Walaupun kemungkinan represif dan kontra aksi akan dilakukan aparat keamanan, pengusaha dan pemerintah. Lain-Lain : Seminar, talk show dll.

 


VII.4 Aliansi / Front




            Kesiapan kita untuk melakukan mobilisasi massa umum harus dilakukan sesuai dengan target kita. Cara-cara yang dipergunakan dalam aliansi/front harus diusahakan semua tuntutan, program dan taktik kita dapat diterima. Melihat watak kelompok-kelompok massa yang ada. Aliansi/front akan sangat mungkin terbentuk/terdorong jika kita berhasil melakukan pra kondisi. Dengan cara mempelopori pra kondisi kita juga dapat memimpin.

Aksi Pra Kondisi :

            Aksi pra kondisi yang dilakukan dimaksudkan untuk melihat tingkat konsolidasi dan persiapan massa sebelum aksi. Aksi yang terpenting adalah aksi rally, demo, rapat akbar di satu kawasan/kota. Jadi aksinya di basis massa. Ini dimaksudkan untuk memaksimalkan kerja propaganda dan mencek tingkat dukungan massa dan latihan bagi mobilisasi pada hari H nantinya. Sebelum aksi ini dilakukan terlebih dahulu dilakukan kampanye baik dalam strategi bawah (pengorganisiran, selebaran) maupun strategi atas : Konferensi pers atau kalau perlu ada aksi awal dengan mengadakan aksi mendatangi DPR, Depnaker dll.

Catatan tentang front : Bila front berhasil terbentuk maka kegiatan yang dilakukan dapat dilakukan atas nama front termasuk siapa yang menyerukan aksi (nasional) dan dukungan daerah. Tetapi yang harus diingat kita tetap harus menjalankan program kita dan independen terhadap taktik kita bila front tidak menyetujui ini menjadi keputusan mengikat.

            Seluruh kerja diatas harus dapat dikontrol secara penuh oleh partai. Kontrol disini bukan saja dimaksudkan untuk menerima laporan kerja sahabat-sahabat melainkan juga memberikan arahan secara regular dan konsisten dan membantu pekerjaan ini secara sistematis. Semua kerja-kerja di pengorganisiran (pabrik, kota, wilayah) harus dilaporkan secara rutin hingga kepusat. Hingga jauh-jauh hari sebelum hari H sudah bisa dilihat kesiapan dan kemungkinan keberhasilan aksi tersebut.

            Semua tindakan kerja-kerja pengorganisiran (dalam setiap pertemuan dan diskusi massa) dilakukan dalam satu gerak yang sama yaitu:

  • Agitasi dan propaganda : agitasi isu, propaganda untuk bersatu, tuntut ke pemerintah.
  • Kondisi basis (tempat kerja/tinggal) dan massa (untuk menetapkan taktik pengorganisiran) : jumlah massa, geopolitik basis, isu/tuntutan/persoalan basis.
  • Pertemuan berikut di basis-basis yang lebih kecil.
  • Pemilihan koordinator sementara.
  • Ada absensi.
  • Seruan untuk mengajak kontak dalam pertemuan massa berikut.
  • Kerjaan ini terus dilakukan berulang-ulang di setiap basis baru hingga menjelang hari H.



Catatan: Bila satu basis telah terkonsolidasi maka pertemuan pertemuan massa di basis dapat dihentikan dan digantikan hanya dengan tugas penyebaran bacaan dan mencari kontak di tempat lain. Tetapi pertemuan seluruh koordinator dalam satu basis tetap dilakukan.



A.  Pertemuan koordinator dibasis yang paling kecil: pabrik/kampung/desa/kampus:

Laporan (ditulis) :

  1. Jumlah kumpulan (sesuai dengan struktur mobilisasi), berapa massa yang hadir dalam kumpulan (dari absensi). Dari kumpulan yang ada berapa % kemampuan untuk memobilisasi massa di basis tersebut.
  2. Jumlah selebaran/poster yang didistribusikan dan corat-coret yang dilakukan.
  3. Respon/tanggapan/usulan massa dan respon penguasa
  4. Kontak massa lain yang ikut kumpulan.
  5. Rencana pengorganisiran berikut/perluasan.
  6. Evaluasi pengorganisran
  7. Evaluasi struktur koordinator/agen/mobilisasi hingga perubahannya
  8. Rencana ke depan (hingga pertemuan kota/wilayah terdekat).
  9. Lain-lain

                     

B.       Pertemuan kota/wilayah (pertemuan koordinator-koordinator basis terkecil):

Laporan Per kota (ditulis) :

· Geo-politik : jumlah massa, pengalaman revolusioner massa kota , peta geo-politik kota, lokasi kekuatan massa yang telah terorganisir, lokasi-lokasi basis strategi (sasaran pengorganisiran), kondisi masyarakat setempat, aparat, rute-rute jalan, transportasi dll.

· Jumlah basis (yang diorganisir dan perluasan/kontak): semua laporan basis terkecil dilaporkan kembali.

· Laporan kekuatan massa kepeloporan untuk memimpin/mendorong seluruh massa dalam satu “kota/lokasi” terlibat.

· Laporan distribusi selebaran, poster dan corat-coret dan distribusinya.

· Kesimpulan dari respon/tanggapan/usulan massa di seluruh basis yang diorganisir dan massa umum.

· Respon massa setempat dan aparat.

· Evaluasi pengorganisiran.

· Evaluasi struktur koordinator/agen/mobilisasi hingga perubahannya.

· Rencana ke depan (hingga pertemuan wilayah)



C.     Pertemuan wilayah (pertemuan koordinator kota yang bisa diperluas melibatkan koordintor basis).

Laporan wilayah (ditulis) :

· Geo politik wilayah : jumlah massa, pengalaman revolusioner massa wilyah, peta geo-politik wilayah, lokasi kekuatan kota-kota yang di organisir, lokasi-lokasi kota strategis (sasaran pengorganisiran), kondisi masyarakat setempat, penguasa, aparat, rute-rute jalan, transportasi, dll.

· Jumlah kota yang menjadi basis.



VII.5 Bentuk-bentuk Agitasi



1.    Agitasi-Propaganda tertulis

a.         Agitasi dan propaganda terbuka/umum/massal. Untuk aksi wilayah maka agitasi lewat poster biasanya sangat efektif untuk mensosialisasikan tuntutan-tuntutan kita, untuk membangkitkan atmosfer perlawanan disana. Apalagi ketika basis kita di wilayah tersebut masih lemah. Penempelan poster harus ditempelkan di tempat-tempat strategis yaitu tempat berkumpul massa.

b.        Agitasi lewat selebaran. Tanpa selebaran tidak mungkin ribuan, puluhan ribu massa dapat kita organisir. Karena tidak mungkin kita mengumpulkan ribuan massa dan membicarakan hal ini, disamping tidak aman juga tidak ada tempat. Selebaran ini sifatnya bukan saja sebagai alat untuk agitasi dan propaganda melainkan lewat selebaran ini struktur agen-agen mobilisasi dibentuk/dibangun. Lewat selebaran ini massa dapat digerakan secara terorganisir, patuh dan disiplin terhadap seluruh keputusan taktik-taktik yang kita buat. Massa akhirnya bisa dipimpin lewat selebaran. Biasanya setelah selebaran kedua maka massa akan mengerti bahwa ia akan dipimpin oleh selebaran. Jadi pada dasarnya agen selebaran adalah juga agen mobilisasi sama dengan struktur mobilisasi kita. Selebaran juga berfungsi untuk keamanan rencana aksi. Lewat selebaran maka pertemuan-pertemuan massa dapat diperkecil. Hanya agen-agen misalnya.



Catatan: Selebaran tidak hanya dipergunakan pada pra aksi melainkan juga pada pasca aksi hari pertama atau untuk menggerakan aksi kembali, memperluas aksi dll. Di tempat-tempat di distribusikannya selebaran atau poster penting untuk dikirimkan sahabat ke lokasi ini. Tujuannya untuk mengagitasi dan selanjutnya mendapatkan kontak untuk diorganisir.



2.        Agitasi-Propaganda Oral

a.       Agitasi dan Propaganda lewat pertemuan/kumpulan

Ini suatu tindakan yang penting adalah untuk meyakinkan massa dan mengaktifkan mereka dalam rencana kita. Karena biasanya ada persoalan-persoalan ataupun pertanyaan dari massa akan suatu hal yang tidak ia dimengerti. Artinya agitasi dan propaganda kita lewat selebaran harus juga dibarengi dengan agitasi-propaganda lewat pertemuan. Lewat pertemuan kita bisa menjelaskan tuntutan kita lebih panjang dan bisa diterima massa.

b.      Agitasi dari rumah ke rumah

Agitasi –propaganda ini berfungsi untuk mengajak kontak untuk diyakinkan dan dapat ikut serta dalam pertemuan yang kita lakukan. Biasanya ini dipergunakan pada tahap awal pengorganisiran atau ketika ada perluasan ke basis lain dan sifatnya masih kontak.

 


VII.6 Pembangunan Struktur Agen Mobilisasi




            Struktur agen yang kita bentuk disesuaikan dengan struktur basis massa yang menjadi sasaran aksi . Karena ini aksi yang sifatnya mobilisasi umum maka struktur yang dibentuk juga bukan hanya struktur agen di basis lokal melainkan struktur agen berapa basis/kota/wilayah. Misalnya dalam satu wilayah maka harus ada struktur antar kota satu dengan struktur kota lainnya. Sementara di kota tersebut juga ada struktur antar basis.

            Pembangunan agen mobilisasi aksi wilayah sama dengan pembangunan agen dalam pengorganisiran aksi di satu basis (pabrik/kampung/desa). Bedanya adalah dalam setiap pertemuan basis, jika kita punya kontak massa basis lain, maka akan sangat baik kontak kita ini dapat diikut-sertakan, karena tuntutan kita adalah tuntutan umum seluruh massa. Ini dilakukan untuk mempercepat perluasan basis-basis massa yang akan menjadi pelopor untuk menggerakan satu wilayah. Bahkan pada prinsipnya seluruh massa di satu basis HARUS selalu diingatkan bila punya kontak di basis lain dapat diajak ikut. Setelah itu kontak ini ditugaskan untuk mengajak kawan-kawannya dan membuat kumpulan di basisnya sendiri dan mulai membangun struktur di basis tersebut. Untuk pemilihan terhadap siapa-siapa yang menjadi koordinator maka pemilihan harus diusahakan dipilih oleh massa sendiri. Karena masalah yang mengerti siapa yang terbaik dan paling berani, paling militan dan untuk melakukan ini. Dengan pemilihan ini maka koordinator ini akan menjadi pimpinan yang akan diakui/dipatuhi oleh mereka. Sambil membangun struktur di satu basis, juga harus dilakukan pembangunan/pertemuan antar basis dan antar titik-titik/konsentrasi basis kota yang menjadi sasaran. Walaupun struktur ini bisa saja bersifat sementara karena mungkin ada pergantian.



Catatan: Setiap koordinator harus mengetahui bagaimana menghubungi jajaran di bawahnya (koordinator dibawahnya). Artinya ia harus mengetahui tempat tinggalnya.

           

VII.7 Peta Lokasi Aksi        



            Sebelum bergerak harus ada pemetaan (peta) wilayah. Dimana titik-titik sasaran yang menjadi sasaran aksi kita. Dimana basis-basis kita, dimana massa basis-basis lain yang tidak kita organisir akan dapat diseret dalam aksi kita. Dimana letak tujuan aksi kiat, DPRD, DPR. Depnaker, Istana, dll. Dimana letak markas tentara/polisi yang akan di mobilisir untuk menghentikan aksi kita. Dimana titik yang akan menjadi tempat pertemuan utama dari titik-titik pertemuan seluruh massa. Dimana kemungkinan kita akan dihadang, kemana kita harus mundur, kemana bila kita harus tetap sampai ke lokasi aksi.







VII.8 Waktu Aksi     




            Waktu aksi yang tepat adalah pada saat massa berkumpul dijalan. Misalnya jam 6.30-7.00 WIB pada saat masuk kerja. Jam berapa pelopor harus sudah berkumpul dll. Berapa waktu yang dibutuhkan untuk mengkonsolidasikan massa di titik-titik kumpul, kapan harus titik-titik tersebut ketemu dan kapan harus segera bergerak keluar.

Hal-hal yang harus diperhatikan:

  1. Semua pekerjaan harus bersifat massal, artinya pekerjaan pengorganisiran, agitasi-propaganda, penempelan poster, pembagian selebaran harus bersifat massal, termasuk dana. Semua orang harus menjadi organisator, agitator-propagandis. Bila proses ini tidak menjadi massal bisa dipastikan sebelum aksi, bahwa kita telah gagal.
  2. Harus ada dua tempat : tertutup dan terbuka.



VII.9 Istilah-istilah dalam Aksi



Setelah kesadaran kritis terbangun maka perangkat yang akan dipersiapkan sebagai instrumen aksi untuk mengawal sebuah tuntutan yang akan diimplementasikan dalam sebuah aksi massa dan perangkat yang harus terdiri dari

  • KORLAP (kordinator lapangan)

Seorang leader yang bertanggung jawab akan jalannya aksi, korlap juga harus faham problematika dan tuntutan yang diangkat, memahami karakteristik massa aksi dan membuat kebijakan dalam situasi jalanya aksi

  • ASTER

Asisten korlap yang ditunjuk sebagai steakholder dalam aksi dan bertanggung jawab atas kebijakan korlap untuk menyampaikan dan mengkondisikan serta pelaksaannya terhadap massa aksi.

  • NEGOSIATOR

Wakil dari massa aksi untuk bernegosiasi terhadap pihak lain yang menjadi lawan atau penghambat aksi juga sebagai delegasi massa aksi untuk melakukan sebuah kesepakatan atau understanding kepada obyek yang dituntut

  • ORATOR

Melakukan sebuah propaganda kepada massa aksi ataupun masnyarakat luas agar mereka mengerti dan faham akan problematika dan tuntutan yang disampaikan pada pihak yang terkait aksi tersebut, dan juga agar massa yang lain bersimapti dan mengikuti aksi

  • HUMAS (hubungan masnyarakat)

Menyampaikan materi aksi kepada media (surat kabar,elektronik) sebagai publikasi dan opini building hal ini media berperan penting akan penyebaran jargon yang diangkat dalam aksi.

  • BAPOR (barisan pelopor)

Perangkat ini sebagai brigade terdepan dalam aksi dan diperlukan apabila aksi disetting Chaos tugasnya untuk menahan dan membalas lawan aksi

  • KORDUM (koordinator umum)

Bagian yang diperlukan apabila banyak sekali massa  aksi dan melibatkan berbagai erlemen didalamnya.



PENUTUP

Sebagai kekuatan yang misterius dalam mengontrol social tentunya akan lebih maksimal apabila para pelopor aksi intens dalam pendampingan atau advokasi pra dan pasca aksi protes, karna intensitas interaksi antara pendamping (CO) memberikan kontribusi yang besar terhadap radikalisasi masa aksi yang didampingi, dan aksi yang progesif   akan menjadi sebuah power society, maka seorang advocator atau CO jangan sekali-kali meninggalkan rakyat (komunitas) yang didampinginya  sampai sebuah target yang ideal itu tercapai. Wallahu A’lam...


5 komentar: