KATA PENGANTAR
Pelatihan
Kader Dasar atau yang lebih populer dengan sebutan PKD merupakan proses
kaderisasi formal kedua di PMII pasca Masa Penerimaan Anggota Baru (MAPABA).
Oleh karena fase ini adalah tahap lanjutan, maka persoalan doktrinasi
nilai-nilai dan misi PMII, penanaman loyalitas dan militansi gerakan, sudah
tuntas sehingga fokus garapannya adalah mewujudkan kader-kader PMII yang lebih
dari sekedar militan, mempunyai komitmen moral, dan dasar-dasar kemampuan
praksis untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar.
Sepanjang
sejarah dunia, di bangsa manapun, keyakinan serta agama apapun, selalu
ada orang-orang unggul yang membimbing atau memimpin masyarakatnya ke arah yang
lebih beradab, lebih manusiawi, dan lebih maju secara budaya, sosial dan
ekonomi. Ada dari mereka yang tercatat dalam halaman-halaman buku sejarah, yang
lain hanya terdapat dalam cerita lisan, dan ada pula yang bahkan tidak
diingat-diketahui oleh siapapun. Merekalah yang dinamakan Pelopor.
Mahasiswa
diharapkan menjadi pelopor berikutnya karena mahasiswa sebagai segmen pemuda
yang tercerahkan dan memiliki kemampuan intelektual sekaligus sebagai orang
yang memeiliki kemampuan logis dalam berifkir sehingga dapat membedakan dan
berimajinasi secara Progresif. Gerakan mahasiswa bil khusus PMII selalu
menginginkan dan mengupayakan proses perubahan sosial melalui reformasi. Langkah reformasi yang dilakukan melalui gerakan moral
mahasiswa akan menjadi ciri khas salah satu elemen masyarakat yang bisa
dianggap paling lama
dalam melahap proses pendidikan. Sementara proses kritis
berbasis massa yang kadang dilakukan dengan aksi demonstrasi, merupakan cara
terakhir bagi mahasiswa sebagai Agent of Social Control.
Sebagaimana adagium beberapa sahabat: “Ketika hati tak lagi dimengerti, ketika ucapan tak lagi didengarkan,
maka cara terakhir adalah aksi!”.
Oleh
sebab itu, perlu suatu proses tansformasi
informasi, penanaman intelektual dan militansi, transmisi kaderisasi demi
mempersiapkan aktor perubahan yang siap petik. Dan harapan terbesar bahwa dengan adanya
Pelatihan Kader Dasar ini, PMII akan
melahirkan kader-kader
berjiwa militan, responsif dan solutif yang berlandaskan faham Ahlussunnah Wal Jamaah.
Dan
modul ini merupakan materi PKD yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga
bermanfaat bagi sahabat-sahabati. Tetap “Tangan terkepal dan maju ke muka”.
Akhir kata, sekali bendera dikibarkan, pantang dan haram diturunkan!
Wallahul Muwaffieq Ilaa Aqwamieth Thorieq
Wassalamu’Alaikum Warahmatullah Wabarakatuh
Malang, Maret 2014
Penyusun
BAB I
PARADIGMA PMII
Paradigma merupakan suatu yang vital
bagi pergerakan organisasi. Karena paradigma merupakan titik pijak dalam
membangun konstruksi pemikiran dan cara memandang sebuah persoalan yang akan
termanisifikasikan dalam sikap dan prilaku organisasi. Disamping itu, dengan
paradigma ini pula sebuah organisasi akan menentukan dan memilih nilai-nilai
yang universal dan abstrak menjadi khusus dan praktis operasional yang akhirnya
menjadi karakteristik sebuah organisasi dan gaya berfikir seseorang.
I.1 Pengertian dan Definisi
Paradigma
Dalam khasanah ilmu sosial, ada beberapa pengertian paradigma yang
dibangun oleh para pemikir sosiologi. Salah satu diantaranya adalah G. Ritzer yang memberi pengertian paradigma
sebagai pandangan fundamental tentang apa yang menjadi pokok persoalan dalam
ilmu. Paradigma membantu apa yang harus dipelajari, pertanyaan apa yang harus
dijawab, bagaimana seharusnya pertanyaan-pertanyaan itu di ajukan dalam
aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam menafsirkan jawaban yang diperoleh.
Paradigma merupakan kesatuan konsensus yang paling luas dalam suatu bidang ilmu dan membedakan
antara kelompok ilmuwan. Menggolongkan, mendefinisikan dan yang menghubungkan antara
eksemplar, teori, metode serta instrumen yang terdapat didalamnya. Mengingat banyaknya definisi
yang dibentuk oleh para sosiolog, maka perlu ada pemilihan atau rumusan yang
tegas mengenai definisi paradigma yang hendak diambil oleh PMII. Hal ini perlu
dilakukan untuk memberi batasan yang jelas mengenai paradigma dalam pengertian
komunitas PMII agar tidak terjadi perbedaan persepsi dalam memaknai paradigma.
Maka pengertian paradigma dalam
masyarakat PMII dapat dirumuskan sebagai titik pijak untuk menentukan cara
pandang, menyusun sebuah teori, menyusun pertanyaan dan membuat rumusan
mengenai suatu masalah. Lewat paradigma ini pemikiran seseorang dapat dikenali
dalam melihat dan melakukan analisis terhadap suatu masalah. Dengan kata lain,
paradigma merupakan cara dalam mendekati “obyek kajianya (the subject matter of
particular discipline) yang ada dalam ilmu pengetahuan. Orientasi atau
pendekatan umum (general orientations) ini didasarkan pada asumsi-asumsi yang
dibangun dalam kaitan dengan bagaimana “realitas” dilihat. Perbedaan paradigma
yang digunakan oleh seseorang dalam memandang suatu masalah, akan berakibat
pada timbulnya perbedaan dalam menyusun teori, membuat konstruk pemikiran, cara
pandang sampai pada aksi dan solusi yang diambil.
I.2 Pilihan Paradigma PMII
Disamping terdapat banyak pengertian mengenai paradigma dalam ilmu sosial
ada berbagai macam jenis paradigma. Melihat realitas yang ada di masyarakat dan
sesuai dengan tuntutan keadaan masyarakat PMII baik secara sosiologis, politis
dan antropologis, akan PMII memilih paradigma kritis transformatif sebagai
pijakan gerakan organisasi.
I.3 Paradigma Kritis Transformatif PMII
Dari penelusuran yang cermat atas
paradigma kritis, terlihat bahwa paradigma kritis sepenuhnya merupakan proses
pemikiran manusia. Dengan demikian dia adalah secular. Kenyataan ini yang
membuat PMII dilematis, karena akan mendapat tuduhan secular jika pola pikir
tersebut diberlakukan. Untuk menghindari tudingan tersebut, maka diperlukan
adanya reformulasi penerapan paradigma kritis dalam tubuh warga pergerakan.
Dalam hal ini, paradigma kritis diberlakukan hanya sebatas sebagai kerangka
berfikir dan metode analisis dalam memandang persoalan. Dengan sendirinya dia
harus diletakkan pada posisi diluar ketentuan agama, sebaliknya justru ingin
mengembalikan dan mengfungsikan ajaran agama yang sesungguhnya sebagaimana
mestinya. Dengan kata lain paradigma kritis di PMII berupaya menegakkan sikap
kritis dalam kehidupan dengan menjadikan ajaran agama sebagai inspirasi yang
hidup dan dinamis.
Sebagaimana dijelaskan di atas,
pertama paradigma kritis berupaya menegakkan harkat dan martabat kemanusiaan
dari berbagai belenggu yang diakibatkan oleh proses sosial yang bersifat
profan. Kedua, paradigma kritis melawan segala bentuk dominasi dan penindasan.
Ketiga, paradigma kritis membuka tabir dan selubung pengetahuan yang menarik
dan hegemonik. Semua ini adalah semangat yang dikandung oleh Islam. Oleh
karenanya, pokok-pokok pikiran inilah yang dapat diterima sebagai titik pijak
paradigma kritis dikalangan warga PMII.
Contoh yang paling kongkrit dalam hal
ini bisa ditunjuk pola pemikiran yang mengunakan paradigma kritis dari berbagai
intelektual islam, diantaranya:
1.
Hassan Hanafi
Penerapan paradigma kritis oleh Hassan Hanafi ini terlihat jelas
dalam konstruksi pemikiranya terhadap agama. Dia menyatakan untuk memperbaharui
Islam yang mengalami ketinggalan dalam segala hal, pertama-tama diperlukan
analisis sosial. Menurutnya, pemikiran tradisional Islam, dalam rangka
menganalisis masyarakat selama ini mengandalkan otoritas teks kedalam
kenyataan. Dia menemukan kelemahan mendasar dalam metodologi ini. Pada titik
ini dia memberikan kritik tajam terhadap metode tradisional teks yang telah
mengalami ideologisasi.
Untuk mengembalikan peran agama
dalam menjawab problem sosial yang dihadapi masyarakat, Hassan Hanafi mencoba
menggunakan metode “kiri Islam” yaitu metode pendefinisian realitas secara
kongkrit untuk mengetahui siapa memiliki apa, agar realitas berbicara dengan
dirinya sendiri. Sebagai realisasi dari metode ini, dia menawarkan
“desakralisasi theology” dengan menjadikan theology sebagai antropologi.
Pemikiran ini dimaksudkan untuk menyelamatkan Islam agar tidak semata-mata
menjadi sistem kepercayaan (sebagai theology parexellence), melainkan juga
sebagai sistem pemikiran.
Usaha Hassan Hanafi ini ditempuh dengna mengadakan rekrontruksi
tehadap theology tradisional yang telah mengalami pembekuan dengan memasukkan
hemenutika dan ilmu sosial sebagai bagian integral dari theology. Untuk
menjelaskan theology menjadi antropologi, Hanafi memaknai theology sebagai ilmu
kalam. Kalam merupakan realitas manusiawi sekaligus Ilahi. Kalam bersifat
manusiawi karena merupakan wujud verbal dari kehendak Allah ke dalam bentuk
manusia dan bersifat Ilahi karena datang dari Allah. Dalam pemikiran Hanafi,
kalam lebih bersifat “praktis” dari pada “logis”, karena kalam-sebagai kehendak
Allah-memiliki daya imperative bagi siapapun kalam itu disampaikan.
Pandangan Hanafi tentang theology
ini berbeda dengan theology Islam yang secara tradisional dimengerti sebagai
ilmu yang berkenaan dengan pandangan mengenai akidah yang benar. Mutakallimin
sering disebut sebagai “ahl al-ra’yu wa al-nadaar” yang muncul untuk menghadapi
“ahl-albid’ah” yang mengancam kebenaran akidah Islam. Dua kelompok ini akhirnya
berhadapan secara dialektis. Akan tetapi dialektika mereka bukanlah dialektika
tindakan, tetapi dialektika kata-kata. Gagasan ideologi sebagai antropologi
yang disampaikan oleh Hassan Hanafi sebenarnya justru ingin menempatkan ilmu
kalam sebagai ilmu tentang dialektika kepentingan orang-orang yang beriman
dalam masyarakat tertentu.
Dalam pemikiran Hassan Hanafi,
ungkapan “theology menjadi antropologi” merupakan cara ilmiah untuk mengatasi
ketersingungan theology itu sendiri. Cara ini dilakukan melalui pembalikan
sebagaimana pernah dilakukan Karl Marx tehadap filsafat Hegel. Upaya ini tampak
secara provokatif dalam artikelnya “ideologi dan pembangunan” lewat subjudul;
dari Tuhan ke bumi, dari keabadian ke waktu, dari taqdir ke kehendak bebas, dan
dari otoritas ke akal, dari theology ke tindakan, dari kharisma ke partisipasi
massa, dari jiwa ke tubuh, dari eskatologi ke futurology.
2.
Mohammad Arkoun
Arkoun menilai bahwa pemikiran Islam, kecuali dalam beberapa usaha
pembaharuan kritis yang bersifat sangat jarang dan mempunyai ruang perkembangan
yang sempit sekali, belum membuka diri pada kemodernan pemikiran dan karena itu
tidak dapat menjawab tantangan yang dihadapi umat muslim kontemporer. Pemikiran
Islam dianggapnya “naif’ karena mendekati agama atas dasar kepercayaan langsung
tanpa kritik. Pemikiran Islam tidak menyadari jarak antara makna potensial terbuka yang
dibeikan dalam wahyu Illahi dan aktualisasi makna itu dalam sejumlah makna yang
diaktualisasikan dan dijelamakan dalam berbagai cara pemahaman, penceritaan dan
penalaran khas masyaraakt tertentu ataupun dalam berbagai wacana khas ajaran
teologi dan fiqih tertentu. Pemikiran Islam juga tidak menyadari bahwa dalam
proses itu bukan hanya pemahaman dan penafsiran tertentu ditetapkan dan diakui,
melainkan pemahaman dan penafsiran lain justru disingkirkan. Hal-hal itu baru
didalami oleh berbagai ilmu pengetahuan modern, yang ingin dimasukkan arkoun ke
dalam pemikiran Islam.
Krena kritiknya yang terlalu kritis
ini, Arkoun sering membeikan jawaban diluar kelaziman umat Islam (uncommon
answer) ketika menjawab proble-proble kehidupan yang dialami umat Islam.
Jawaban seperti ini telihat jelas dalam penerapan tori pengetahuan (theory of
knowledge).
Teori pengetahuan ini meliputi
landasan epistemology kajian tentang Islam. Dalam hal ini Arkoun membedakan
berbagai berbagai wacana ideologis, wacana rasional dan wacana profetis. Setiap
wacana memiliki watak yang berbeda sehingga diperlukan kesesuaian dengna
wataknya. Selama ini orang dengan mudah menyatakan melakukan kajian secara
ilmiah, akan tetapi itu tidak jarang hanya merupakan proses ideologis semata.
Ini tidak hanya dilakukan oleh orang-orang muslim, melainkan juga oleh
orang-orang barat yang mengideologikan sikap meeka dalam memandang Islam. Salah
satu corak ideologi adalah unsur kemadekan (tidak dinamis), resistensi (tidak
kritis dan demi kekuatan (tidak transformatif).
Untuk merealisasikan jawab tersebut
Arkoun berusaha meletakkan dogma, interpretasi dan teks secara proporsional.
Upaya ini dilakukan untuk membuka dialog terus-menerus antara agama dengan
realitas untuk menentukan wilayah-wilayah mana dari agama yang bisa didialogkan
dan dintrepretasikan sesuai dengan konteknya.
Kedua pola pikir dari inteltual
Islam di atas merupakan sedikit contoh yang bisa dijadikan model bagaimana
paradigma kritis diberlakukan dalam wilayah pemikiran keagamaan. Disamping
kedua pemikir Islam diatas sebenarnya masih banyak pemikir lain yang menerapkan
pemikiran kritis dalam mendekati agama, misalnya Abdullah Ahmed An-naim, Asghar
Ali Enggineer, Thiha Hussein, dan sebagainya.
Dari kedua contoh diatas terlihat
bahwa paradigma kritis sebenarnya beupaya membebaskan manusia dengna semangat
dan ajaran agama yang lebih fungsional. Dengan kata lain, kalau paradigma
kritis Barat berdasarkan pada semangat revolusioner sekuler dan dorongan
kepantingan sebagai dasar pijakan, paradigma kritis PMII justru menjadikan
nilai-nilai agama yang terjebak dalam dogmatisme itu sebagai pijakan untuk
membangkitkan sikap kritis melawan belenggu yang kadang disebabkan oleh
pemahaman keagamaan yang distortif.
Jelas ini terlihat ada pebedaan yang
mendasar penerapan paradigma kritis antara pemikiran barat dengan Islam (yang
diterapkan PMII). Namun demikian harus diakui adanya persamaan antara keduanya
yaitu dalam metode analisa, bangunan teoritik dan semangat pembebasan yang
terkandung didalamnya. Jika paradigma kritis ini bisa diterakan dikalangan
warga pergerakan, maka kehidupan keagamaan akan bejalan dinamis, bejalannya
proses pembentukan kultur demokratis dan penguatan civil society akan segera
dapat terwujud. Dan kenyataan ini terwujud manakala masing-masing anggota PMII
memahami secara mendalam pengetian, kerangka paradigmamatik dan konsep teoritis
dari paradigma kritis yang dibangun oleh PMII.
Dalam pandangan PMII, paradigma
kritis saja tidak cukup untuk melakukan transformasi sosial, karena paradigma
kritis hanya berhenti pada dataran metodologis konsepsional untuk mewujudkan
masyarakat yang komunikatif dan sikap kritis dalam memandang realitas.Paradigma
kritis hanya mampu menelanjangi berbagai tendensi ideologi, memeberikam
perspektif kritis dalam wacana agama dan sosial, namun ia tidak mampu
memberikan perspektif perubahan pasca masyarakat terbebaskan. Pasca seseorang
terbebaskan melalui perspektif keitis, paradigma kritis tidak memberikan
tawaran yang praktis. Dengan kata lain, paradigma kritis hanya mampu melakukan
analisis tetapi tidak mampu melakukan organizing, menjembatani dan memberikan
orientasi kepada kelompok gerakan atau rakyat. Paradigma kritis masih
signifikan untuk digunakan sebagai alat analisis sosial, tetapi kurang mampu
untuk digunakan dalam perubahan sosial. Karena ia tidak dapat memberikan
perspektif dan orientasi sebagai kekuatan bersejarah dalam masyarakat untuk
bergerak. Karenanya, paradigma kritis yang digunakan di PMII adalah kritik yang
mampu mewujudkan perubahan sehingga menjadi paradigma kritis transformatif.
Paradigma kritis transformatif PMII dipilih sebagai upaya
menjembatani kekurangan-kekurangan yang ada dalam paradigma kritis pada
wilayah-wilayah turunan dari bacaan kritisnya terhadap realitas. Dengan
demikian paradigma kritis transformatif dituntut untuk memiliki
instrumen-instrumen gerak yang bisa digunakan oleh masyarakat PMII mulai dari
ranah filosofis sampai praksis.
I.4 Dasar
Pemikiran Paradigma Kritis Transformatif PMII
Ada beberapa alasan yang menyebabkan PMII harus memilih paradigma
kritis sebagai dasar untuk bertindak dan mengaplikasikan pemikiran serta
menyusun cara pandang dalam melakukan analisa.
Pertama, masyarakat Indonesia saat ini sedang terbelenggu oleh
nilai-nilai kapitalisme modern. Kesadaran masyarakat dikekang dan diarahkan
pada satu titik yaitu budaya masa kapitalisme dan pola pikir positivistik
modernisme. Pemikiran-pemikiran seperti ini sekarang telah menjadi berhala yang
mengharuskan semua orang untuk mengikatkan diri padanya. Siapa yang tidak
melakukan, dia akan ditinggalkan dan dipimggirkan. Eksistensinyapun tidak
diakui. Akibatnya jelas, kreatifitas dan pola pikir manusia menjadi tidak
berkembang. dalam kondisi seperti ini maka penerapan paradigma kritis menjadi
suatu keniscayaan.
Kedua, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk, baik
etnik, tradisi, kultur maupun kepergayaan. Kondisi seperti ini sangat
memerlukan paradigma kritis, karena paradigma ini akan memberikan tempat yang
sama bagi setiap individu maupun kelompok masyarakat untuk mengembangkan
potensi diri dan kreatifitasnya secara maksimal melalui dialog yang terbuka dan
jujur. Dengan demikian potensi tradisi akan bisa dikembangkan secara maksimal
untuk kemanusiaan.
Ketiga, sebagai mana kita ketahui selama pemerintahan orde baru
berjalan sebuah sistem politik yang represif dan otoriter denganpola yang
hegemonik. Akibatnya ruang publik masyarakat hilang karena direnggutoleh
kekuatan negara. Dampak lanjutannya adalah berkembangnya budaya bisu dalam
masyarakat, sehungga proses demokratisai terganggu karena sikap kritis
diberangus. Untuk mengembangkan budaya demokratis dan memperkuat civil society
dihadapan negara, maka paradigma kritis merupakan alternatif yang tepat.
Keempat, selama pemerintahan orba yang menggunakan paradigma
keteraturan (order paradigma) dengan teori-teori modern yang direpresentasikan
melalui ideologi developmentalisme, warga PMII mengalami proses marginalisasi
secara hampir sempurna. Hal ini karena PMII dianggap sebagai wakil dari
masyarakat tradisional. Selai itu, paradigma keteraturanpun memiliki
konsekwensi logis bahwa pemerintah harus menjaga harmoni dan keseimbangan
sosialyang meniscayakan adanya gejolak sosial yang harus ditekan sekecil apapun.
Sementara perubahan harus berjalan secara gradual dan perlahan. Dalam suasana
demikian masa PMII secara sosiologis akan sulit berkembang karena tidak
memiliki ruang yang memadai untuk mengembangkan diri, mengimplementasikan
kreatifitas dan potensi dirinya.
Kelima, selain belenggu sosial politik yang dilakukan oleh negara
dan sistemkapitalisme global yang terjadi akibat perkembangan situasi, faktor
yang secara spesifik terjadi dikalangan PMII adalah kuatnya belenggu dogmatisme
agama dan tradisi. Dampaknya, secara tidak sadar telah terjadi berbagai
pemahaman yang distortif mengenai ajaran dan fungsu agama. Terjadi dogmatisasi
agama yamg berdampak pada kesulitan membedakan mana yang dogma dan mana yang
pemikiran terhadap dogma. Agamapun menjadi kering dan beku, bahkan tidak jarang
agama justru menjadi penghalang bagi kemajuan dan penegakan nilai kemanusiaan.
Menjadi penting artinya sebuah upaya dekonstruksi pemahaman keagamaan melalui
paradigma kritis.
BAB II
KRITIK IDEOLOGI
II.1 Pengantar Kritik Ideologi
Secara etimologis istilah ideologi berasal dari kata “idea”
yang berarti “gagasan, konsep, pengertian dasar, cita-cita”, dan “logos”
yang berarti “ilmu”. Kata idea berasal dari bahasa Yunani “ideos”
yang berarti bentuk, karena itu secara terminologis ideologi berarti ilmu
pengetahuan tentang ide-ide atau ajaran tentang pengertin-pengertian dasar.
Dengan demikian ideologi mencakup pengertian tentang ide-ide,
pengertian-pengertian dasar, gagasan-gagasan, dan cita-cita.
Untuk lebih mendekatkan
kita pada pengertian yang relevan dengan tema makalah ini, penulis perlu
mengemukakan tiga pandangan terkait kajian tentang ideologi ini.
Pertama, de Tracy menjelaskan
ideologi sebagai ”ilmu tentang gagasan”. Menurut de Tracy ideologi mencakup nilai, norma, falsafah, dan kepercayaan religius, sentimen, kaidah etis,
pengetahuan, atau wawasan tentang dunia, etos dan semacamnya. Pengertian ini
sering di sebut sebagai pendekatan yang ‘netral’ tentang ideologi.
Kedua, ideologi dipersempit maknanya
oleh Karl Marx dan Sigmund Freud sebagai sistem gagasan yang dapat digunakan untuk ‘merasionalisasikan,
memberikan teguran, memaafkan, menyerang atau menjelaskan keyakinan,
kepercayaan, tindak dan pengaturan kultural tertentu.
Ketiga, ideologi tidak jarang dipandang negatif oleh ilmuwan misalnya Arief Budiman mengungkapkan bahwa ideologi selalu bermakna tidak sesuai dengan kebenaran. Pengetahuan yang
bersifat ideologis, berarti pengetahuan yang lebih sarat dengan keyakinan
subyektif seseorang, dari pada sarat dengan fakta-fakta empirik. Bila anda
berdebat, kemudian pandangan anda di tuduh ‘ideologis’ berarti anda dianggap
bersikap subyektif, tidak kritis lagi terhadap kebenaran yang ada. Dengan kata
lain ideologi adalah pengetahuan yang menyesatkan, dan pelopor pandangan ini adalah Marx.
Pengertian serupa dapat dilihat
dalam World Book Encyclopedia, yang
mendefiniskan: “Ideologi tidak didasarkan pada informasi faktual dalam
memperkuat kepercayaannya. Orang cenderung menerima sebuah sistem pikiran (atau
gagasan) tertentu ini tentu menolak sistem pikiran lain yang tidak sama dalam
menjelaskan kenyataan yang ada.… Karena itu, orang yang secara kuat menganut ideologi tertentu mengalami
kesukaran mengerti dan berhubungan dengan penganut ideologi lain.”
Ketiga pandangan diatas, sama–sama
memiliki signifikansi bagi masing-masing kepentigan. Pengertian pertama (de
Tracy) penting untuk kepentingan pengetahuan dan penelitian, kedua (Marx yang
dibenarkan oleh Arif Budiman) penting untuk melakukan kritik terhadap ideologi
dominan (the dominant ideology). Dan tentu bagi insan pergerakan, penting untuk
mengetahui sisi positif ideologi, yakni perannya sebagai “artikulasi
kepentingan gerakan/organisasi”. Memang ideologi diciptakan untuk memberi arah
bagi terpenuhinya kepentingan sebuah kelompok sosial tertentu. Ideologi dalam
sebuah gerakan sering di fungsikan untuk mengatur dan mengarahkan aktivitas
gerakan. Walaupun memang ideologi mengandung kemungkinan besar memanipulasi
kebenaran, tetapi tetap memiliki signifikansi bagi sebuah gerakan atau organisasi
bahkan partai politik.
Ada banyak ideologi besar
di dunia seperti Marxisme, Sosialisme, Liberalisme, Komunisme, Kapitalisme, Neo
Liberalisme dan masih banyak lagi yang mempunyai peranan sangan besar dalam
kehidupan.
II.2 Bentukan
Intervensif dalam Ideologi
Ideologi di samping dapat merupakan realitas yang mengejutkan, juga
mampu mengemas aspek-aspek kehidupan justru berubah menjadi bersifat ideologis.
Hal tersebut menampak dalam berfungsinya suatu aspek kehidupan sebagai
ideologi, maka akan muncul misalnya agama dijadikan ideologi, kebudayaan
dijadikan ideologi, pembangunan dijadikan ideologi, ekonomi dijadikan ideologi,
strata sosial dijadikan ideologi. Dalam kasus-kasus penyeberangan tersebut dua
hal menampak terlukai yakni unsur kebebasan dan unsur kemutlakan. Sementara itu
pragmatisme sebagai suatu de-ideologisasi, yakni memandang tempat ideologi
tidak lagi begitu penting, justru menampak sebagai ideologi. Pragmatisme
sebagai suatu bentukan/kemasan ideologi menunjuk bahwa segalanya harus tunduk
pada pembangunan ekonomis tehnis. Pada gilirannya muncullah ideologi
pembangunan atau ideologi kemajuan tertentu yang akan menganggap remeh
orang-orang kecil, yang boleh digilas saja demi mencapai tujuan.
Pertahanan kemasan ideologis tersebut didukung oleh fenomena
globalisasi. Fenomena globalisasi, seperti halnya ideologi, bersifat ekuivokal
dan elusif. Globalisasi menunjuk bukan hanya realitas ekonomi (perdagangan
bebas dunia, pragmatisme), tetapi juga pemikiran alternatif di bidang ilmu dan
filsafat sosial sehingga bersifat paradigmatis. Dalam milenium ketiga ini
paradigma globalisasi paling tidak memuat delapan kriteria palsu (Sindhunata,
2003). Kriteria palsu tersebut adalah de-teritorialisasi, trans-nasionalisme,
multi-lokal dan trans-lokal, imajinasi dalam kultur global, dilema kedaulatan,
dilema demokrasi, bahaya otoriterisme, universalisme palsu. Kepalsuan kriteria
dalam globalisasi itu nampak ketika mencermati cita-cita kesemestaan sejati
yakni kesempurnaan manusia dalam persaudaraan global. Sementara itu elan-vital
dalam globalisasi adalah persaingan sengit kebendaan, konsumerisme, polarisasi
alienatif, kelompok eksklusif. Giddens (1999) menengarai bahwa globalisasi
memiliki modus perombakan kehidupan manusia bertalian dengan risiko, tradisi,
keluarga, dan demokrasi. Sementara itu konsep globalisasi, secara embriotik,
antara mitos dan realitas, tercermin dalam Communist Manifesto “The need of a
constantly expanding market for its products chases the bourgeoisic over the
whole surface of the globe. It must nestle everywhere, settle everywhere,
establish connections everywhere” (Marx and Engels, 1998, p.54).
II.3 Kritik atas Ideologi
dan Paradigma Gerakan PMII
Sebagai kader PMII tentu saja kita
menghendaki PMII selalu menunjukkan bentuk dinamisnya dan peran historisnnya
tidak usang oleh perubahan jaman. Hal ini tentu saja membutuhkan keseriusan
dalam membina keorganisasian dan bahkan melakukan kritik dan otokritik terhadap
eksistensi dan kiprah PMII selama ini. Dalam tradisi keilmuan dan gerakan,
kritisisme adalah conditio sine qua none
yang mampu menjadikan organisasi tersebut dinamis, peka sosial dan menjadi anak
zamannya. Kritisime dalam berpikir, bersikap dan berprilaku inilah yang akan
mampu menghantarkan PMII beserta kader-kadernya ‘melek sosial’ dan berperadaban
dimana ia tidak hanya menjadikan kader PMII lebih kritis dalam ranah perjuangan
perubahan. Lebih dari itu, kritisisme itu akan menjadi salah satu takaran
penting dalam mengejawantahkan berbagai nilai-nilai ideologis-paradigmatis PMII
dalam menjawab persoalan kekinian maupun akan datang.
Kritik-Otokritik gerakan PMII
meliputi dua hal utama, antara lain:
Pertama, berkaitan dengan tatanan internal
keorganisasian, yang bertumpu pada lima fakta organisasi.
a. Ideologi dan paradigma gerakan
b. Sistem organisasi
c. Sistem pengkaderan
d. Strategi organisasi
e. Logistik organisasi.
Kedua, platform dan pola relasi PMII
dengan institusi, kekuatan dan realitas sekelilingnya, yang meliputi:
a. Relasi PMII dengan negara
b. Relasi PMII dengan rakyat serta kekuatan sipil lainnya
c. Relasi PMII dengan kampus, gerakan mahasiswa dan pro demokrasi
d. Relasi PMII dengan kekuatan kapitalisme global.
Tak satupun organisasi bergerak
tanpa payung ideologi yang jelas. Ideologi berfungsi ibarat obor penerang jalan
kiprah sebuah organisasi. Ideologi yang kerap dimaknai sebagai “a set of closely related belief, or ideas,
or even attitudes, characteristics of a group or community” (Plamenatz;
1970), akan menjadi titik pembeda antara PMII dengan organisasi kemahasiswaan
lainnya.
Dalam wilayah ideal, PMII mestinya
mampu memerankan dirinya pada kerja-kerja besar ideologi, mulai dari; pertama, PMII mampu menjadi penggagas
ideologi bagi diri dan masyarakatnya, dengan ini characteristic building PMII mewujud kukuh dalam setiap gerakannya.
Ini berarti PMII harus mampu menyusun dan mengembangkan ideologinya, mulai dari
postulasi pemikiran yang terkait dengan seluruh aspek kehidupan masyarakat,
hingga tafsir dan detail pengembangan dan penggunaannya. Kalau hal ini tak
tercapai, maka kedua, PMII berfungsi
menjadi pendukung dan mufassir
ideologi tertentu sebagai pembenar dalam setiap sikap dan tindakannya. Dan ketiga, menggiring PMII sebagai
pengemban ideologi, dimana PMII menggerakkan diri dan masyarakatnya untuk
mencapai arah akhir dari ideologi anutannya. (bandingkan dengan Hanief &
Zaini; 2000).
Dalam intensitas dan spektrum yang
berbeda, PMII pernah mengoperasikan ketiga bentuk peran tersebut, selama 4
(empat) dasa warsa lebih. Tatkala negara terkotak-kotak dalam politik aliran
era Orde Lama Soekarno, yang menempatkan politik sebagai panglima, PMII
memainkan peran pendukung sekaligus ideologi politik Islam tradisionalis. Peran
ini menjebak PMII tercebur dalam kerja-kerja politik praktis yang menghilangkan
watak radikal dan independensinya sebagai sebuah organisasi kemahasiswaan.
Begitu pula pada awal Orde Baru
ditegakkan, PMII masih berkutat dengan pergulatan Islam sebagai ideologi
politik dan tawaran developmentalisme
yang memaksakan depolitisasi aliran dan dealiranisasi politik. Titik balik
terjadi, ketika PMII kemudian mentahbiskan dirinya independen tidak terkait
dengan organisasi politik manapun melalu Deklarasi Murnajati 1972 di Malang.
Independensi PMII ini bermakna hilangnya keterikatan organisasi dari sikap dan
tindakan siapapun dan hanya setia dengan perjuangan PMII sendiri serta
cita-cita perjuangan nasional berlandaskan Pancasila.
Puncaknya, independensi PMII itu
menjadi entry point upaya pencarian
jati diri organisasi yang sesungguhnya. Artinya, PMII mulai harus mengurus
dirinya sendiri tanpa menggantungkan dirinya dengan orang (kekuatan) lain,
sambil terus berpegang pada landasan yang berasal dari dalam tradisinya sendiri
serta kekuatan yang dibangunnya sendiri. Sikap ini telah mampu mencairkan
berbagai trauma-trauma politik dan gerakan PMII di masa sebelumnya, hingga PMII
memiliki keleluasaan gerak lebih lugas memilih peran-peran intelekual,
kemasyarakatan dan kritisisme terhadap agama maupun negara tanpa terbebani oleh
kejumudan tradisi (ortodoksi pemahaman keagamaan) ataupun terbatasi oleh keterikatan
politik dengan kekuatan manapun.
Perumusan ideologi PMII sangat
dipengaruhi oleh 3 (tiga) momentum penting ; 1). Kembalinya NU kepada khittah
1926 ; 2). Diterimanya Pancasila sebagai satu-satunya azaz tunggal dalam
praktik kehidupan berbangsa dan bernegara ; 3). Serta dirumuskannya NDP PMII
dalam Konggres ke-8 tahun 1985. Bersamaan dengan itu kader PMII telah mulai
menyebar di berbagai kampus umum dan aktif bergerak di berbagai LSM untuk
melakukan gerakan pemberdayaan masyarakat serta terlibat intens dalam aksi-aksi
jalanan melawan hegemoni negara.
Akhirnya pada paruh pertama dasa
warsa ‘90-an, berbagai rumusan ideologi dan paradigma gerakan PMII terbentuk.
Ideologi gerakan PMII bukanlah bangunan ideologi sekuler, melainkan ideologi
berbasis agama. Sebab, ideologi yang dibangun oleh PMII menggambarkan susunan
kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang dicita-citakan, dalam keterkaitan di
antara hubungan kekuasaan sesama manusia di dalam masyarakatnya dengan
pengabdian manusia kepada Tuhan sebagai penguasa tertinggi berasal dari tradisi
pemahaman ke-Islaman dan bersumber dari nilai-nilai Aswaja (yang dipandang
sebagai manhaj al-fikr).
Sedangkan paradigma gerakan PMII di
bangun atas postulasi-postulasi dan nilai-nilai universal Islam serta hasil
dialog kreatif tradisi pemahaman Islam tradisional dengan background sosial dan historis (tradisonal dan rural-agraris)
aktifis PMII dan realitas sosial-politik khas Indonesia. Paradigma gerakan ini
sangat dipengaruhi oleh pemikiran Thomas S. Kuhn yang memandang paradigma
sebagai serangkaian konstelasi teori, pertanyaan, pendekatan serta prosedur
yang dikembangkan dalam rangka memahami kondisi sejarah, dan realitas sosial
untuk memberikan konsepsi dalam menafsirkan realitas sosial (Kuhn, 1962).
Dengan ideologi yang bersumber dari
agama, watak paradigma PMII pun tak lepas dari landasan teologis yang
dianutnya. Corak pemahaman teologis yang mempengaruhi cara pandang dan etos
gerakan PMII inilah yang nantinya menjadi pembeda dengan berbagai paradigma
gerakan mahasiswa atau kekuatan sipil lainnya. Akhirnya, PMII memilih paradigma
kritis transformatif sebagai paradigma gerakannya, bahkan rumusan ini termaktub
dengan jelas dalam Bab V pasal 6 Anggaran Dasar PMII hasil Kongres PMII Medan
tahun 2000 lalu.
Namun, harus disadari bahwa masih
banyak kelemahan dan ke-simpangsiur-an konsep maupun aplikasi praktis dari
bangunan ideologi dan paradigma gerakan PMII. Kritik atas ideologi dan
paradigma PMII menjadi sangat penting diungkapkan di sini, sebab ada beberapa
hal yang mesti dituntaskan berkaitan dengan persoalan tersebut.
Pertama, rumusan teologis paradigma PMII
selama ini didasarkan pada rumusan Aswaja dan NDP yang masih normatif. Padahal
proyek dekonstruksi Aswaja sampai hari ini masih terus berlangsung dan belum
menemukan konsepsi otoritatifnya. Bagaimana PMII kemudian berani mendasarkan
landasan teologisnya pada sebuah diskursus dekonstruksi dan rekonstruksi Aswaja
yang belum usai, menyimpan kontradiksi di sana-sini, belum ada bangunan
epistimologisnya, dan dipenuhi perdebatan teologis dari pemikir Islam
tradisional? Jangan-jangan ini hanya menjadi semacam “kegenitan” intelektual”
para aktifis PMII yang kemudian menjadikan rumusan teologis PMII sebagai media
“uji coba” dalam mencari konsepsi teologis Islam tradisional yang paling sesui
dengan gerak dinamika sosial dan sejarah?.
Sekitar tahun 1996-1997-an, PMII
mengangkat tema teologi antroposentrisme-transendental sebagai landasan
paradigma gerakannya. Konstelasi ini menempatkan manusia sebagai subyek utama
yang melakukan tugas dan fungsi Tuhan di muka bumi (khalifatullah fil ardl), dimana manusia tidak diletakkan pada dua
kutub yang diametral dan kontradiktif, yakni di satu sisi sebagai khalifatullah yang memiliki tugas
memakmurkan bumi dan menyelesaikan persoalan kemanusiaan dengan keadilan, dan
di sisi lain sebagai abdullah yang
mempunyai tugas mengabdi dan menyembah Allah dengan penuh kepasrahan. Namun,
sebagai totalitas kesatuan kekhalifahan dan abdullah
sekaligus, yakni menempatkan manusia sebagai makhluk yang paling tinggi,
sebagai khalifah Allah di muka bumi dan sebagai makhluk yang mempunyai
kemampuan fitri dan akali (PB PMII, 1997).
Postulasi pandangan teologis seperti
ini memang lebih maju sebagai upaya penafsiran atas normatifitas NDP PMII,
namun sebenarnya belum memberikan jawaban apapun atas berbagai persoalan
dekonstruksi teologi Aswaja yang sudah hampir satu dasa warsa ini
diperdebatkan. Apalagi kalau kemudian konsepsi ini digugat dengan realitas di
lapangan, bahwa tidak ada korelasi positif antara pandangan teologis PMII ini
dengan seluruh etos dan pola gerakan PMII hari ini. Sementara itu PMII telah
memilih transformasi sebagai pilihan paradigmanya, padahal pandangan teologis
antroposentrisme-transendental PMII masih belum mampu menjawab apa bangunan
epistimologisnya, realitas wujudnya dan corak serta watak teologi apa yang
sebenarnya dihasilkan, apakah revolusioner? Transformatif ? Normatif ? Atau
bahkan malah fundamentalis-formalistik ? Sungguh masih sangat banyak pertanyaan
dan problema yang muncul dari berbagai rumusan teologis yang telah PMII klaim
sebagai basis ideologi dan paradigmanya.
Kedua, rumusan
sebuah paradima gerakan itu sangat terikat dengan ruang dan waktu (space and time) serta harus bersifat
terbuka atas perubahan (open ended).
Artinya, paradigma PMII ini akan mengalami deviasi atau shifting paradigm yang akan melahirkan sebuah community consensus baru, hal ini akan berlangung terus menerus.
Karena itu, watak paradigma PMII adalah temporal/ tidak permanen, dan akan
terus mengalami perubahan sebagai bentuk tuntutan penyesuaian atas watak
dinamis gerak sejarah kemanusiaan yang terus berkembang dan berubah-ubah.
Persoalan menjadi muncul, tatkala
PMII membakukan konsepsi paradigma kritis transformatif tersebut dalam Anggaran
Dasarnya (AD). Sebab, dengan memasukkan paradigma tersebut dalam AD PMII,
seakan-akan menyiratkan bahwa rumuan paradigma itu digiring untuk dipermanenkan
di PMII. Ini adalah kontradiktif dengan watak sebuah paradigma itu sendiri yang
sangat terikat oleh relatifitas space and
time, dan itu artinya tidak permanen dan sangat mungkin dirubah, sesuai
dengan konteks dimana serta kapan paradigma itu diterapkan.
Sangat wajar, jika kemudian 2 tahun
terakhir ini mulai dipertanyakan kembali rumusan teologis dan paradigma gerakan
PMII itu oleh beberapa aktifis PMII sendiri? Sebab kenyataannya, tidak ada
relasi timbal-balik antara rumusan teologis dan paradigma itu dengan seluruh
aktifitas yang dilakukan oleh PMII di seluruh tingkatan? Sulit menyimpulkan
apakah kalau PMII itu melakukan aksi jalanan ataupun pemikiran itu dijiwai /
disemangati oleh landasan teologis dan paradigma PMII sendiri.
II.4 Wacana
Ideologi Alternatif
Pencermatan akan kandungan kritik-kritik tersebut, baik pada
ideologi melaksanakan kritik maupun pada ideologi mengalami kritik, mengantar
pada refleksi bahwa ideologi mengalami kritik ilmiah cenderung jauh dari
signifikansi ideologisnya. Ideologi
kapitalisme dan ideologi sosialisme telah menoreh noktah-noktah destruktif bagi
kehidupan masyarakat yang beradab, memperkosa harkat martabat manusia. Ideologi
Kapitalisme bertahan karena kemampuannya memperoleh dukungan politik. Hal
tersebut bertalian dengan sistem kelas, di samping mekanisme untuk
mempertahankan legitimasi (proses demokratik, persaingan antar partai,
reformasi sosial, kesejahteraan). Namun nampak kesulitan mempertahankan
legitimasi suatu sistem politik yang berdasarkan kekuatan kelas yang tidak
sama. Di samping itu terdapat kecenderungan krisis yang terjadi dalam
masyarakat kapitalis, yang akan mempersulit pertahanan stabilitas politik
melalui persetujuan belaka. Masyarakat kapitalis memungkinkan konflk antara
logika akumulasi kapitalis dengan tekanan dari rakyat yang menuntut partisipasi
dan persamaan lebih besar. Kondisi yang demikian itulah yang akan mempersulit
pertahanan legitimasi. Paradigma negara kesejahteraan merupakan obsesi
negara-negara Barat dalam mengantisipasi kesulitan pertahanan legitimasi.
Tetapi paradigma tersebut juga menghadapi kesulitan, sehingga dicari berbagai
jalan tengah (Giddens, 1998; Giddens, 2000).
Ideologi sosialisme bertahan karena paradigma bahwa semua orang akan
memberi menurut kecakapannya dan akan menerima menurut kebutuhannya. Tetapi paradigam tersebut
menghadapi kesulitan yakni memerlukan kewenangan yang akan mengatur kebutuhan
dan kecakapan. Sementara itu masyarakat merupakan kumpulan individu-individu,
sehingga kebahagiaan seseorang pada gilirannya akan memajukan kebahagaan
orang-orang lain. Maka parameter kemajuan masyarakat adalah kemajuan para
individu yang membentuknya. Pada galibnya ideologi sosialisme mencari
identifikasi diri pada kemajuan menghadapi konservatif dan penderitaan yang
mengalami ketimpangan. Sementara itu pencarian identifikasi diri tersebut
menghadapi kekurangan asas-asas kebebasan
dan subjektivitas, dan sering gagal sebagai suatu sistem ekonomik dan meragukan
dalam hal moral (Murchland, 1992).
Dilema pada ideologi kapitalisme dan ideologi sosialisme tersebut
mengusik wacana ideologi alternatif. Sementara itu wacana alternatif ideologi
dirasa akan memfungsikan aspek-aspek kehidupan sebagai suatu ideologi, sehingga
justru akan menimbulkan permasalahan substantif. Hal itu misalnya akan nampak
dalam ideologi ilmu yang bebas nilai, ideologi agama yang
inklusif-fundamentalistik. Sedangkan
ketika paradigma agama diantisipasi sebagai modus pencarian ideologi
alternatif ( agama pascaideologi) akan menimbulkan polemik di dalam dirinya
sendiri dan polemik agama sebagai sistem sosial yang komprehensif (Maksum, ed.
1994).
Wacana humanisme sebagai ideologi alternatif dipilih dengan
pertimbangan sebagai berikut. Humanisme pada galibnya bersifat anthroposentris,
merupakan paradigma pikiran yang memperjuangkan dihormatinya manusia dengan
harkat dan martabatnya serta penempatan manusia sebagai pusat perjuangan
pembudayaan (tanggapan manusia untukmemenuhi kebutuhan akan makna dalam
berbagai ekspresi) dan peradaban (kebudayaan diarahkan pada proses humanisasi
atau pemanusiawian dunia). Paradigma tersebut mengandung beberapa butir
analisis sebagai berikut. Humanisme merupakan arus peradaban, yang menempatkan
manusia di satu pihak sebagai pusat dan sumber makna segala sesuatu yang pada
gilirannya menjadi berharga dalam hidup, di lain pihak menempatkan manusia
sebagai pelaku proses sejarah. Humanisme memungkinkan pembangunsadaran kritis dirinya
terhadap hegemoni makna atau manipulasi kesadaran kritis, sehingga peziarahan
humanisme mencapai suatu transformasi bagi kesadaran naif dan kesadaran magis.
Proses yang dilakukan lewat pendidikan atau aksi budaya yang bertujuan untuk
semakin memekarkan ruang hidup manusia sebagai pusat merupakan suatu proses
humanisasi atau pemanusiawian dunia (Sutrisno, 2001).
Pranarka (1971) menyebut paradigma humanisme baru untuk menunjukkan
bahwa semua dapat bekerja untuk semua, semua membangun untuk semua, semua berbahagia
bersama semua. Humanisme baru dibangkitkan oleh proses sejarah itu sendiri.
Humanisme baru berprinsip bahwa manusia merupakan faktor penentu dalam sejarah,
dan semakin memilih untuk berbuat baik daripada melakukan yang jahat, memilih
membangun daripada merusak, memilih perdamaian daripada peperangan dan
pembunuhan, memilih pengabdian daripada adu kekuatan. Di situ terdapat
penegasan pilihan antara humanisme theis, a-theis, atau independent?! Dengan
otonomi, independensi dan mentalitas kritis yang tidak absolut, humanisme baru
diantisipasi dapat merupakan ideologi alternatif dalam mengkritisi kemasan
ideologi-ideologi. Di dalam humanisme baru maka fajar-baru-umat-manusia
diantisipasi menyingsingkan kecerdasan spiritual yang berintikan kepekaan hati-nurani.
BAB III
MANAJEMEN KONFLIK
III.1
Definisi Konflik
Konflik berasal dari bahasa latin Configere : saling
memukul atau berbenturan. Dua batang kayu yang saling dibenturkan terus menerus
seringkali bisa menimbulkan api. Api yang dihasilkan tidak selalu bersifat
distruktif. Dan seringkali hal ini justru diupayakan oleh para juru damai
sebagai mana konflik-konflik yang tercipta lewat perjuangan aktif tanpa
kekerasan seperti yang dilakukan oleh Gandhi yang akhirnya membebaskan India
dari cengkraman kolonial inggris.
Dalam perkembangan pasca perang dunia ke-II, definisi konflik tidak
lagi membatasi pada konflik berskala besar saja, misalnya: antar negara, antar
wilayah, tetapi juga adanya konflik diwilayah intra personal atau konflik dalam
diri sendiri hingga konflik bersenjata. Yang dimaksud dengan konflik dalam
perkembangan terkini adalah keadaan sebagai akibat adanya pertentangan
kepentingan oleh pihak yang berbeda.
Apa yang membedahkan antara konflik Destruktif dan yang Konstruktif
yang membedakan adalah cara pihak-pihak yang ada dalamkonflik menangani
konflik tersebut untuk memanfaatkan kearah perubahan yang sungguh konstruktif.
Cara membuat konflik menjadi sesuatu yang konstruktif ini disebut
dengan melakukan transformasi konflik.
III.2 Sumber-sumber dan Jenis-jenis Konflik
Manusia akan selalu berorientasi dengan orang lain yang memiliki
perbedaan pendapat, kepentingan dan kebutuhan. Konflik juga tidak dapat
dihindari, segigih apapun upaya kita untuk menghindari konflik dinamikanya akan
tetap berlanjut. Jika kita membiarkannya terjadi, meninggalkanya, seringkali
malah semakin besar dan semakin sulit untuk ditangani.
Beberapa uraian berikut akan membantu dalam memahami konflik yang
ada yang memiliki potensi “bahaya” atau “peluang”
- Masalah hubungan antar manusia
Emosi-emosi yang kuat, salah persepsi, stereotip, kurang atau salah
komunikasi
- Perbedaan Nilai
Ideologi, Pandangan hidup, kelas social, Gender, kekuasaan, dll.
- Masalah kepentingan
Yakni masalh kebutuhan dan cara untuk memenuhinya atau taa cara
maupun mental psikologis (sikap, emosi)
- Perbedaan Data
Kuantitas dsan kualitas informasi, kemampuan analitis, pemahaman,
pola piker, dll.
- Masalah Struktural
Wewenang, sumber daya, kebiajakn, geografis, dll.
Secara sederhana, konflik dapat dipahami sebagai terjadinya perbedaan kepentingan. Misalnya
; Huda dan teman-temannya ingin nonton rame-rame, pada saat yang sama teman
satu kosnya sedang sakit dan Huda harus menunggunya karena teman kos yang lain
pada pulang semua.
Pada skala yang lebih kecil setip orang mengalami konflik yang di
sebabkan oleh :
1.
Konsep Diri
Kebanyakan, orang yang berasumsi terlalu buruk tentang diri mereka
sendiri dan berasumsi bahwa orang lain menggap dirinya lebih rendah. Maka
mereka tersebut akan berasumsi bahwa orang meremehkan dirinya dirinya dari
sederetan daftar apa yang di katakana orang tentang dirinya.
2.
Tekan Dari Pihak Lain
Pihak lain yang dimaksud bias jadi adalah orang lain atau kelompok
lain yang mencoba mempengaruhi cara kita berfikir dan bahkan dalam pilihan kita
pada masalah social atau yang lain.
3.
Kekuasaan (Power)
Banyak orang merasa mereka butuh untuk menyertakan kekuasan terhadap
orang lain untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Hal tersebut bias berupa
penyertaan ganjaran hukuman atau hdiah sebagaimana orang tua yang menyuruh anaknya
untuk melakukan sesuatu.
4.
Budaya
Setiap budaya memiliki karakteristik dan nilai yang berbeda-beda
satu sama lain. Ketidak pahaman atau kurangnya toleransi budaya seringkali
memicu konflik. Semisal, penggunaan tangan kanan untuk mengambil barang atau
makanan dianggap sopan. Dalam budaya lain belum tentu.
5.
Endapan Konflik
Hampir dalam setiap interaksi selalu terdapat konflik, namun
seringkali kita mengabaikan konflik-konflik kecil yang mungkin kita anggap
biasa. Namun bias jadi kumpulan dari berbagai konflik kecil itu kemudian
mengendap menjadi stu dan berubah menjadi sebuah konflik yang lebih besar
III.3 Sikap Seseorang
Ketika Menghadapi Konflik
1. Kompetisi (saya menang dia kalah)
Kondisi dimana saya mendapatkan apa yang saya inginkan, menganggap
kepentingan dan tujuan saya paling penting mesklipun untuk mencapainya saya
harus membuat orang lain merasa terancam. Dalam kondisi ini ketika kita
menyatakan posisi kita, yang penting adalah bagaimana membuat kita menang dan
cara yang mudah untuk membuat orang lain kalah.
2. Submisif (dia menang saya kalah)
Sejauh kita tidak berlawanan dengan pihak lain, saya tidak bias
menyatakan apa yang sebenarnya saya inginkan. Seringkali kita bingung bagaiman
cara kita menghormati orang lain dengan
cara yang baik, biasanya kita kita tidak menyatakan keinginan karena hal ini
akan membangkitkan ketegangan dan tidak
nyaman. Akibatnya kita hanya memendam dalam diri, kemudian memuncak dan tak
terbendung, kita dapat merusak diri sendiri ataupun orang lain.
3. Menghindar (saya kalah kamu kalah)
4. Hubungan dan hasil yang tidak terpenuhi keduanya. Kita tidak
menghadapi konflik itu sendiri, kita seperti meletakkan kepala kita di pasir
artinya lari dari ketakutan atau percaya konflik tidak dapat di cari penyelesaiannyadengan
usaha yang kita lakukan. Padahal dengan menghindar ini, seperti telah kita
bahas sebelumnya, konflik tidak akan pernah berhenti dan akan selalu ada.
5. Kerja sama (saya menang kamu
menang)
Mencapai hasil itu penting, tetapi hubungn dengan orang lain itu
juga penting. Prinsipnya ; bahwa akhir penyelesaian harus konsisten dengan
hasilnya. Bahwa kemenangan atau hasil akhir dari penyelesaian konflik adalah
saya menang dan orang lain juga menang (kemenangan semuanya). Kerjasama bukan
berarti kita menapung pendapat orang lain, bukan juga menyerah kepada apa yang
kita piker penting. Diperlukan juga negosiasi, bukan berarti dengan mengobankan
apa yang kita anggap penting.
III.4 Gaya Seseorang Saat Mengahadapi Konflik.
1. Menghindari atau mengingkari
Banyak orang percaya adalah buruk terlihat marah pada orang lain,
konflik sering menyebabkan orang sering merasa marah mereka mungkin mengingkari
bahwa ada masalah atau mengingkari bahwa mereka mempunyai rasa marah pada orang
lain. Meskipun demikian, menghindari masalah tidak akan memecahkan masalah.
Situasi yang sama kemungkinan akan terjadi lagi dan ketika selalu menghindari
maka orang tidak akan pernah tahu pemahaman kita akan suatu masalah.
2. Agresi atau Koinfrontasi
Cara agresi menangani konflik adalah menyerang orang lain dan bukan
mendenganrkan pendapat orang lain. Agresif berarti menyerang dan sering kali
menimbulkan kerugian bagi orangn lain, gaya ini membuat konflik lebih sulit
untuk dipecahkan. Mudah memancing kemarahan dan frustasi dan kekerasan tak jarang
terjadi sebelum konflik di temukan.
3. Asertif (menyatakan keinginan
tanpa melukai orang lain)
Pendekatan yang asrtif memastikan bahwa kedua belah pihak didengar
dan pihak yang berkoflik dilibatkan untuk membecarakan berbagai cara untuk
memecahkan persoalan. Perlu diingat bahwa ; pihak yang berkonflik mungkin butuh
untuk merubah tingkah laku untuk memecahkan konflik.
Hasil sangat
penting
(+)
|
|
||||
(+)
|
(-) (+)
|
|
(-)
Hasil sangat tidak penting
Cara Damai
|
Cara
Kekerasan
|
Bertahap
berusaha tidak ada korban diantara kedua belah pihak
|
Bertahap
korbannya, dan korban idak bias dihindari
|
Menjunjung
tinggi penghormatan kepada hak-hak asasi manusia, keadilan yang setara bagi
semua pihak tanpa prasangka dan diskriminasi
|
Menghambat
pihak lain untuk memenuhi kebutuhannya maka sangat cenderung untuk melakukan
pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia. Tindakan yang diambil dilihat
dari sisi kepentingan pribadi
|
Melakukan
tahap :- Rekonsiliasi
-
Negoisasi
-
Mediasi
-
Arbitrasi
|
Tidak
mengupayakan penyelesaian dari dua pihak. Juga menyertakan bentuk-bentuk
kekerasan fisik atau non fisik untuk mencapai tujuan
|
Mempertimbangkan
adanya penyelesaian yang berefek jangka panjang yang memungkainkan kedua
pihak dapat kembali hidup berdampingan atau saling percaya
|
Tidak mempertimbangkan
kemungkinan kedua pihak dapat hidup berdampingan. Karena lebih berrientasi
pada kemenangan satu pihak
|
BAB IV
ANALISA SOSIAL
IV.1 Definisi Analisa Sosial
Analisa sosial dimaksudkan untuk membaca keadaan sekitar. Laksana
cahaya, dari pancarannya itu tentu dapat menyingkap hal-hal dalam gelap dan
tersembunyi. Sehingga analisa sosial dapat didefinisikan sebagai usaha
memperoleh gambaran yang lebih lengkap tentang sebuah situasi dengan menggali
hubungan-hubungan historis dan strukturalnya. Tujuan analisa sosial adalah memberi
perhatian pada hal-hal yang menyebabkan suatu perubahan (masalah) sosial di
masyarakat.
Sebagai sebuah cara, analisa sosial tidak dirancang menyediakan
penyelesaian (solusi) langsung atas
permasalahan yang tengah terjadi. Suatu kejadian sosial tidak mesti kelar
dengan satu jawaban mujarab. Oleh
karenanya, analisa sosial merupakan siklus. Dari suatu keprihatinan menjadi
keinginan mencari tahu. Rasa ingin tahu berlanjut pada pencarian informasi.
Lalu permenungan yang disambung dengan merumuskan perbuatan. Dan terus seperti
itu.
Analisa sosial sesungguhnya mempunyai batas-batas tertentu terhadap
kerangka kerja yang harus dilakukan.
Adapun batas-batas analisa sosial adalah sebagai berikut;
1.
Tidak dirancang untuk menyediakan
sebuah jawaban langsung atas pertanyaan “apa yang kita perbuat” jawaban atas
pertanyaan itu merupakan tugas strategi dan perencanaan.
2.
Bukan kegiatan esoteris
reflektif monopoli kaum intelektual.
3.
Bukan perangkat yang “bebas
nilai”, bukan sudut pandang yang netral, bukan sudut pandang yang semata-mata
ilmiah dan obyektif terhadap realitas.
Karena analisa sosial tidak hanya sekedar pengetahuan, kemampuan menggali situasi sosial masyarakat
dapat dilakukan oleh setiap orang dengan merakit lampu penerang yang dapat
dipakai memahami situasi sosial di
sekeliling. Seberapapun terbatasnya hasil yang diperoleh dari suatu fokus
persoalan. Manfaat analisa sosial antara lain, sebagai berikut:
1.
Memahami persoalan pokok yang
dialami masyarakat.
2.
Mengerti kelompok-kelompok yang
memiliki kepentingan dalam masyarakat.
3.
Keterkaitan dalam berbagai sistem
(sistem politik, ekonomi & budaya) dalam kehidupan sehari-hari orang banyak.
4.
Potensi-potensi masyarakat.
5.
Kebutuhan dasar orang banyak.
IV.2
Langkah-langkah Analisia Sosial
1.
Konversi, yaitu menyingkap dan
memperjelas nilai-nilai yang mendorong kita melakukan tugas itu; berarti kita
harus bersentuhan dengan berbagai perspektif, praduga-praduga,
pendirian-pendirian yang mempengaruhi soal jawab yang kita lakukan dan penilaian-penilaian
yang kita buat.
a.
Apa keyakinan dan nilai dasar
kita ?
b.
Bagaimana rakyat?
c.
Bagaimana martabat dan hak
asasi manusia?
2.
Diskripsi, yaitu membuat diskripsi
umum dari situasi yang sedang kita coba untuk kita pahami. Mengumpulkan berbagai
fakta dan tren melalui “brain storming” dan ceritera –ceritera yang berdekatan
dengan pengalaman rakyat;
a.
Apa yang terjadi pada situasi
tersebut?
b.
Apa yang kamu ketahui tentang
situasi yang ada sekarang ini?
c.
Apakah yang terjaadi dalam
situasi tersebut?
d.
Apa yang diungkap oleh foto-foto
situasi tersebut?
e.
Kuisioner
3.
Analisis, adalah kita dapat
melaksanakan tugas tersebut dengan empat pertanyaan mengenai;
1.
Sejarah. kita memandang situasi
dengan mata kesadaran historis dan menegenali pengaruh masa lalu yang melatar
belakangi kesadaran sekarang
a.
Perubahan-perubahan apa yang
telah terdalam beberapa tahun ini?
b.
Manakah peristiwa-peristiwa
yang paling penting?
c.
Apakah yang akan terjadi
sepuluh tahun lagi bila kesadaran seperti ini?
2.
Struktural, berbagai struktur
(pemerintah, hukum, pendidikan, perdagangan, tenaga kerja, budaya , agama,
keluarga, dll) membentuk situasi yang bermacam-macam cara lembaga, proses atau
pola yang menentukan faktor- faktor dalam akibat realitas sosial. Beberapa
struktur cukup jelas, sedangkan yang lainnya tersembunyi.
a.
Siapakah yang membuat keputusan
terpenting? Jelaskan.
b.
Siapakah yang mempunyai
kekuasaan? Bagi siapa kekuasaan itu digunakan?
c.
Manakah penyebab terpenting
dari situasi dewasa ini? Jelaskan.
d.
Bagaimana hubungan antar
masyarakat?
e.
Apakah dalam masyarakat ada penggolongan?
f.
Bagaimanakah peraturan dan
hukum yang berlaku? Dan bagaimana si pelaksana hukum itu sendiri?
g.
Bagaimana prosedur pembuatan
keputusan atau peraturan?
3.
Nilai-nilai, disebut dengan cita-cita
yang menggerakkan masyarakat, ideologi-ideologi dan norma-norma moral yang
menentukan aspirasi-aspirasi dan
harapan-harapan yang ada dalam masyarakat.
a.
Siapakah pembawa nilai-nilai
dalam masyarakat; pribadi-pribadi, model-model peranan, lembaga-lembaga.
b.
Penggunaan kekuasaan didasari
oleh nilai apa?
c.
Apakah yang dikehendaki
seseorang dalam hidupnya? Jelaskan
d.
Manakah tradisi-tradisi
masyarakat yang mempengaruhi?
4.
Proyeksi
a.
Bagaimana keadaan sepuluh tahun
yang akan datang jika bila situasi terus seperti ini?
b.
Manakah sumber-sumber
kreativitas dan harapaan yang ada sekarang bagi masa depan?
c.
Apakah yang kau pelajari dari
semua ini?
IV.3 Kerangka Berpikir dalam Melihat
Realitas Sosial
KONSERVATIF
|
LIBERAL
|
RADIKAL
|
|
ISTILAH (LATIN)
|
Conservo; menyim-pan,
mempertahankan, menjaga hingga tidak berkutik
|
liber; bebas merdeka, tidak dipaksa
|
radix; akar
|
SIKAP
|
Cenderung
untuk mempertahankan yang sudah ada
|
Cenderung untuk membiarkan tumbuh-nya
kebebasan bagi yang mampu
|
Cenderung
untuk mencari akar, atau sebab yang ada di dalam suatu masalah
|
PANDANGAN TENTANG MANUSIA
|
Manusia itu statis,
mereka hidup dalam tatanan tertentu (kelas, kasta) dan menjalani saja. Baik
manusia maupun susunan tidak mungkin berubah.
|
Manusia dapat berubah. Tatanan hubungan
antara manusia tidak berubah
|
Tatanan
hubungan antar manusia harus diubah oleh manusia
|
SIKAP TERHADAP PERUBAHAN
|
Perubahan itu tidak mungkin
|
Perubahan hanya terjadi pada pribadi
|
Perubahan
terjadi pada tata hubungan
|
PANDANGAN PADA KEKUASAAN
|
§ Alat untuk menjaga agar tetap menjadi apa adanya.
§ Milik lembaga-lembaga yang berkuasa
|
§ Alat untuk memberi kebebasan bagi yang mampu me-ngembangkan diri
& membantu bagi yang tidak mampu secara pribadi.
§ Milik pribadi
|
§
Daya dorong perubahan
hubungan antar manusia.
§
Milik rakyat
|
TITIK BERAT KESADARAN
|
Kesadaran
akan kedu-dukannya, akan lem-baga-lembaga yang sah dan resmi seperti
pemerintah sebagai tempat yang memberi arti kepada dirinya
|
Kesadaran tentang nilai pribadinya
sendiri sebagai sebuah kemungkinan untuk berkembang secara bebas
|
Kesadaran
akan kebersamaan, terlebih dengan sesamanya yang mengalami nasib sama
|
UNGKAPAN
NILAI YANG BISA DIJADIKAN IDEOLOGI
|
Stabilitas,
keharmonisan, keselarasan dan ketentraman
|
Pembangunan dan perkembangan
|
Dinamika,
solidaritas dan pemerataan.
|
PANDANGAN TENTANG AGAMA
|
Alat untuk
mempertahankan struktur masyarakat yang sudah ada. Agama menjadi ideologi.
|
Dasar dan motivasi pribadi untuk
berkembang secara pribadi dan dasar untuk berbuat amal
|
Kesempatan
untuk menyadari harga diri manusia sebagai pelaku sejarah. Agama memiliki
fungsi profetik.
|
PANDANGAN TENTANG
KEMISKINAN
|
Kemiskinan harus
ada sebagai nasib yang tak terelakkan. Paling-paling manusia dapat berusaha
untuk mencoba agar tidak menjadi miskin
|
Kemiskinan memang ada tetapi dapat
dirubah. Kemiskinan adalah akibat dari kegagalan tiap individu (maalas,
pasif, bodoh)
|
Kemiskinan tidak
boleh ada, itu bukan nasib. Ke-miskinan seke-lompok orang adalah akibat
langsung dari ke-kayaan sekelom-pok lain yang kaya.
|
SIKAP TERHADAP KAUM MISKIN
|
Perlu diberi
nasehat rohani agar dapat menerimanya dengan tabah. Mereka boleh mengharap
pahala di akhirat.
|
Secara pribadi perlu dibantu oleh orang
yang kaya agar menolong dirinya (biasanya dengan pendidikan). Kalau tidak
dapat perlu dibantu secara karikatif (dipenuhi kebutuhan dasarnya)
|
Orang miskin
adalah mereka yang karena orang-orang kaya sehingga mengalami pemiskinan.
Orang miskin harus bersama membebaskan diri dari belenggu itu.
|
PERANAN KAUM TERDIDIK
|
Kaum
akademisi\para ahli di bidang sains, atau politisi yang membantu mereka dalam
mempertahankan status quo
|
Mereka yang menguasai profesi mereka,
dapat bekerja baik dalam sistem yang tersedia atau menciptakan sisitem yang
lebih bebas.
|
Menjadi
pemikir tentang masya-rakat berdasarkan pengalaman langsung dengan manusia
yang menderita. Yang dapat bersikap inspiratif terha-dap nilai keber-samaan
& kritis terhadap kekua-saan. Dikenal sebagai kaum
intelektual\cendekiawan
|
PANDANGAN TERNTANG MAHASISWA
|
Orang yang
berbakat yang perlu memperkembang-kan bakatnya untuk kemudian ikut
memper-tahankan tata sosial yang ada, membantu memper-tahankan status quo,
perlu dibina sejak dini.
|
Orang yang berbakat yang perlu diberi
kebebasan untuk menjadi profesional sekaligus mampu membantu korban secara
karikatif.
|
Cendekiawn\intelektual.
Posisi yang belum termasuk salah satu golongan,punya kekuatan untuk merubah
secara radikal.
|
BAB V
ISLAM
SEBAGAI TEOLOGI PEMBEBASAN
V.1 Sejarah dan
Perkembangan Teologi Pembebasan
Teologi
Pembebasan pada awalnya muncul di Eropa abad kedua puluh dan menjadi studi
penting bagi agama-agama untuk melihat peran agama untuk membebaskan manusia
dari ancaman globalisasi dan menghindarkan manusia dari berbagai macam dosa
sosial, serta menawarkan paradigma untuk memperbaiki sistem sosial agi manusia
yang telah dirusak oleh berbagai sistem dan idiologi dari perbuatan mansuai
sendiri (Wahono, 2000 : I ). Perkembangan Teologi Pembebasan di Eropa lebih
pada pemikiran, sedangka di Amerika Latin dan Asia pada pemikiran ke gerakan
untuk melawan hegemoni kekuasaan yang otoriter. Teologi pembebasan di Amerika
Latin merupakan bagian dari gerakan para agamawan melawan hegemoni kekuasaan
negara totaliter.
Seperti yang
pernah dinyatakan oleh Leonardo Boff, Teologi Pembebasan adalah pantulan
pemikiran, sekaligus cerminan dari keadaan nyata, suatu praksis yang sudah ada
sebelumnya. Lebih tepatnya, masih menurut Boff, ini adalah pengungkapan atau
pengabsahan suatu gerakan sosial yang amat luas, yang muncul pada tahun 1960-an
yang melibatkan sektor-sektor penting sistem sosial keagaman, seperti para elit
keagamaan, gerakan orang awam, para buruh, serta kelompok-kelompok masyarakat
yang berbasis keagamaan (Lowy, 1999 : 27).
Teologi
Pembebasan adalah produk kerohanian. Dan harus diakui, dengan menyertakan di
dalamnya suatu doktri keagamaan yang benar-benar masuk akal, Teologi Pembebasan
telah memberikan sumbangsih yang amat besar terhadap perluasan dan penguatan
gerakan-gerakan tersebut. Doktrin masuk akal itu telah membentuk suatu
pergeseran radikal dari ajaran tradisional keagaman yang mapan. Beberapa
diantara doktrin itu adalah ; 1). Gugatan moral dan sosial yang amat keras
terhadap ketergantungan kepada kapitalisme sebagai suatu sistem yang tidak adil
dan menindas, 2) Penggunaan alat analisis Marxisme dalam rangka memahami
sebab-musabab kemiskinan, 3) pilihan khusus pada kaum miskin dan kesetiakawanan
terhadap erjuangan mereka menuntut kebebasan, 4) Suatu pembacan baru terhadap
teks keagamaan, 5) Perlawanan menentang pemberhalaan sebagai musuh utama agama
6) Kecaman teradap teologi tradisional yang bermuka ganda sebagai hasil dari
filsafat Yunani Platonis.
Kehadiran
Teologi Pembebasan pada awalnya adalah untuk mengkritisi “pembangunan” yang
dilakukan negara terhadap rakyatnya. Pembangunan yang dilakukan oleh negara
yang didukung oleh institusi kuat seperti militer dan isntitusi agama yang
semata meligitimasi kepentingan negara.
Perkembangan
teologi pembebasan di Indonesia sangat lambat. Hal ini disebabkan oleh faktor
negara yang represif dan kuat. Teologi Pembebasan yang dilakukan di Amerika
Latin telah menunjukkan keberhasilan dalam memperjuangkan hak keadilan bagi
masyarakat kecil. Pertarungan antar negara, istitusi agama dengan elit agama di
luar institusi, dan rakyat yang tertindas menyatu mendapat kemenangan dan
meruntuhkan rezim yang kuat.
V.2 Visi Pembebasan
Islam
Unsur-unsur
pembebasan dalam Islam dapat dilacak kembali sampai pada Nabi sendiri dan
pengalamannya. Pada zamannya, Mekkah adalah suatu kota dagang dengan sedikit
pedagang kaya tetapi banyak orang miskin yang penghidupannya tergantung pada
pendapatan mereka yang kecil dari pekerjaan melayani karavan-karavan dagang
yang melalui kota itu. Orang-orang masih bodoh dan bertakhayul, menyembah
banyak sekali ilah. Para perempuan ditindas, bahkan mereka dapat dikubur
hidup-hidup (Q.S. 81 : 8-9). Ada banyak budak, para janda dan anak
yatim diabakan.
Nabi sendiri berasal dari keluarga miskin, meskipun bangsawan. Ia diutus oleh
Allah untuk membebaskan rakyat dari kebodohan dan penindasan. Ia dipaksa oleh
kaumnya melarikan diri dari Mekkah ketika pesannya yang membebaskan ditolak. Dengan bimbingan Nabi, orang-orang Arab, di samping membebaskan diri
mereka sendiri, juga berusaha membebaskan orang-orang dari kerajaan Romawi dan
Sasania yang menindas (Engineer, 1990 : 28-30). Dari praksis inilah tradisi
pembebasan Islam muncul.
Muhammad (570 –
632 Masehi), yang secara harfiyah berarti manusia yang terpuji, adalah nabi
terakhir dan merupakan revolusioner pertama di zaman modern ini. Dia
membebaskan budak-budak, anak-anak yatim dan perempuan, kaum yang miskin dan
lemah. Perkatannya yang mengandung wahyu menjadi ukuran untuk membedakan yang
benar dari yang salah, yang sejati dari yang palsu, dan kebaikan dari
kejahatan. Misinya sama dengan nabi-nabi terdahulu; supremasi kebenaran, kesetaraan
dan persaudaraan manusia (Haque, 2000 : 216).
Nabi Muhammad
mendirikan sebuah tatanan sosial yang egaliter di mana alat-alat produksi yang
mendasar dikuasai umum dan dimanfaatkan oleh semua orang secara kolektif karena
semua komunitas yang berdasarkan pada kebenaran dan kesetaraan tidak mengenal
penguasaan pribadi atas sumber-sumber daya seperti sumber air, tambang-tambang,
kebun buah-buahan dan lain-lain, yang kepadanya masyarakat menggantungkan hidup
dan kebutuhan-kebutuhan dasar.
Untuk
meningkatkan kesetaraan sosial dan persaudaraan manusia, Muhammad Saw., dengan
ajaran-ajaranya, mendorong emansipasi kaum budak. Para pemeluk agama Islam yang
pertama terutama adalah budak-budak, mawali (budak yang telah
dimerdekakan), para wanita dan anak-anak yatim. Sehingga banyak sahabat yang
dulunya adalah seorang budak. Mereka diantaranya adalah Bilal, Syu’aib, salman,
Zaid bin Haritsah, Abdullah ibn Mas’ud, dan ‘Ammar bin Yassir (Ibid : 226).
Konsepsi
teologis tentang tauhid sesungguhnya adalah konsepsi tentang prinsip-prinsip
atau nilai-nilai luhur yang menjaga kehidupan manusia di muka bumi ini;
kebenaran, kasih sayang, ketulusan, kebaikan, kesetaraan, dan persaudaran
manusia (Ibid : 39). Muhammad pembawa risalah dalam riwayat hisorisnya
mempersembahkan hidupnya untuk menyatakan kebenaran dan membangun sebuah
tatanan sosial yang didasarkan pada prinsip-prinsip dan nilai-nilai luhur tadi.
Nabi berjuang melawan kekuatan-kekuatan
tersebut, yaitu kekuatan-kekuatan yang memecah belah umat manusia ke dalam
faksi-faksi, kelas-kelas dan kelompok-kelompok yang saling bertikai, dimana
kelas yang satu menindas kelas yang lain. Mereka bergelut melawan diskriminasi
kelas, ketidakdilan, tirani, dan penindasan.
Nabi Muhammad berjuang dengan
gigih dan gagah berani membebaskan umat manusia yang menderita karena
perbudakan oleh orang-orang yang zalim, orang yang mengeksploitasi orang lain,
para bangsawan, para pemilik budak dan para ahli agama. Mereka mengangkat
harkat manusia dari jurang tahayul, kelemahan dan ketidaksempurnaan yang
disebabkan oleh syirik, rasa takut, nafsu yang liar, egoisme, arogansi dan
nafsu kebendaan (Ibid : 45).
Nabi-nabi sebelum Muhammad seperti
Musa, Isa, Ibrahim dan yang lainnya, adalah pemberontak dan revolusioner yang
melakukan revolusi melawan penindasan, diskriminasi kelas, korupsi, dan
kezaliman pada lingkungan sosialnya masing-masing. Mereka berjuang sepanjang
hidupnya untuk kebenaran, kesetaraan, keadilan, dan kebaikan. Dalam al-Qur’an
disebutkan bahwa tujuan perjuangan mereka adalah menghapuskan penindasan (zulm)
dalam segala bentuknya :
“Sebelum mereka kami sudah mengutus orang-orang yang kami beri wahyu.
Tanyakanlah kepada mereka yang berilmu jika kamu tidak tahu. Kami tidak
memberikan tubuh kepada mereka yang tidak memakan makanan, dan mereka tidak
pernah hidup kekal. Kemudian Kami penuhi janji kami dan Kami selamatkan mereka
dan siapapun yang Kami sukai; tetapi Kami binasakan mereka yang sudah melampui
batas. Kami telah mewahyukan kepadamu (hai manusia !) sebuah kitab yang bersi
pelajaran bagimu; tidaklah kamu mengerti ? Dan sudah ebrapa banyak penduduk
yang Kami hancurkan karena perbuatan mereka yang sewenang-wenang, dan Kami
adakan sesudah mereka kaum yang lain ! Setelah mereka merasakan azab dari Kami,
ternyata mereka lari menghindarinya. Jangankan kamu lari, tetapi kembalilah
kepada kesenanganmu, dan tempat-tempat tinggalmu, supaya kamu dapat ditanyai.
Mereka berkata; “Ah, memang kami dulu berbuat sewenang-wenang!” Memang itulah
keluhan mereka selalu, sehingga kami jadikan mereka seperti tanaman habis
dituai, padam dan tak dapat hidup lagi.” (Q.S. al-Anbiya’ : 7 – 15)
Secara harfiyah, dzulm
berarti memindahkan/meletakkan sesuatu atau seseorang pada tempat yang tidak
semestinya, atau mencabut sesuatu atau seseorang dari bagian atau haknya yang
semestinya. Jadi dzulm adalah sesuatu disequilibrium (ketidakseimbangan),
disharmoni, penghapusan, atau gangguan dalam tatanan alam, harmoni, harmoni
atau equilibrium segala sesuatu.
Seorang manusia
yang mengingkari kebenaran, menolak kesetaraan sosial atau keadilan adalah
seorang dzalim, seorang penindas yang mengingkari nilai-nilai luhur kehidupan
manusia yang harmonis dan setara; dia adalah seorang kafir, yang mengingkari
kebenaran dan kesetaraan dari Allah. Seorang jahat yang menggunakan kekuatan
terbuka untuk membunuh yang lemah, adalah seorang dzalim atau penindas yang
mencabut manusia lain dari hak asasinya untuk hidup dan dihormati.
Al-Qu’an mendefinisikan dzalimun,
para penindas, adalah orang-orang yang mengingkari Allah (juga kebenaran,
keadilan dan kesetaraan) (Q.S al-Baqarah : 254). Mereka adalah “ yang
ingkar akan tanda-tanda Allah dan membunuh nabi-nabi tanpa sebab dan membunuh
mereka yang menyuruh orang berbuat adil ..” (Q.S. Ali Imran 21) (Ibid :
45). Al-Qu’an mengumpamakan keadaan para penindas itu seperti panen yang gagal
karena dirusak oleh hawa yang membeku :
“Mereka yang kafir, harta dan
anak-anak mereka yang sedikitpun tak berguna dalam pandangan Allah. Mereka
menghuni api neraka, di sana mereka tinggal selama-lamanya. Perumpamaan segala
apa yang mereka nafkahkan dalam hidup di dunia ini seperti angin dingin menimpa
tanaman suatu golongan yang menganiaya diri. Bukan Allah yang menganiaya mereka
tetapi mereka menganiaya diri sendiri.” s( Q.S. Ali Imran : 116 –
117)
V.3 Dari Teologi ke Praksis
Banyak sekali pemikir Islam yang
begitu membicarakan tentang persinggungan antara Islam dengan pembelaan
terhadap rakyat dengan jargon yang dianggap berbau komunistik–seperti rakyat,
keadilan, kemiskinan—disalahpahami dan dicurigai. Seorang Hassan Hanafi dituduh
macam-macam bahkan dianggap sesat dan kafir, lepas apakah pemikirannya benar
ataupun salah.
Tetapi bukankah sejarah Islam
mencatat betapa banyaknya kisah tokoh Muslim yang begitu peduli dengan hal-hal
yang berbau keadilan, kemiskinan, dan kerakyatan ? Dari awal, Rasulullah sudah
mencanangkan kemerdekaan hamba dari yang selain Allah, termasuk anjuran
menghapuskan perbudakan. Bahkan beliau, dalam doanya, menyamakan kekufuran dan
kefakiran. Khalifah Abu Bakar memerangi orang yang tidak mau membayar zakat.
Khalifah Umar pernah membekukan hukum potong tangan ketika musim paceklik.
Khalifah Ali berkata, “seandainya kemiskinan itu adalah seorang makhluk,
niscaya sudah kubunuh”.
Seorang Ali
Shariati, seorang pengagum dan pengkritik Karl Marx, menyatakan bahwa memang
dalam sejarah selalu ada pertarungan dua pihak, Penguasa yang zalim dengan
Islam yang membela kaum tertindas. Dalam sejarah, kata Ali, betapa banyak kisah
pembelaan terhadap kaum lemah dan tertindas (mustad’afin), seperti
kisah Nabi Daud, Musa, dan Muhammad. Dia juga mengatakan Islam Kanan yang
membungkus agama untuk berlindung dibawah kemapanan kekuasaan yang dzalim, dan
Islam Kiri yang memakai Islam sebagai kritik dan alat menghancurkan kedzaliman
dan membela orang kecil. (Syari’ati, 1998 : 45). Dalam sejarah kita, Syarikat
Islam terkenal amat dekat dengan rakyat. Isu kerakyatan dan buruh amat kental
terasa, misalnya pemogokan dan pemberontakan petani. Bahkan cikal bakal Partai
Komunis Indonesia mendompleng menbangun kader dari gerakan ini. Berbagai
tarekat juga turut andil dalam pengursiran penjajah.
Di Mesir, Gerakan Ikhwanul
Muslimin bergerak di kelas bawah, ke buruh-buruh. Bahkan gerakan fenomenal ini
sempat beraliansi dengan Partai Sosialis setempat. Di Indonesia, Masyumi juga
sangat erat dengan Partai Sosialis Indonesia. Sayang sekali, jarang ada buku
dan tulisan tentang keterkaitan ajaran Islam dengan permasalahan umat kelas
bawah ini. Sedikit sekali, misalnya karya Yusuf Qardhawi tentang pengetasan
kemiskinan dan zakat sebagai solusinya (Qardlawi, 1998). Atau Sayyid Quthb
dengan “Keadilan Sosial dalam Islam”. Selebihnya, sebagian besar
hanyalah fiqh ibadah ritual dari wudlu ke haji. Memang fiqh
tentang hal-hal itu penting, tetapi Islam tidak hanya berisi hal-hal syariat
dan fiqh mahdhah semata.
Ashgar
mengingatkan tentang bekal ajaran Islam yang sangat erat dengan Teologi
Pembebasan, yaitu Persaudaran Universal, kesetaraan, keadilan sosial. Tidak
tanggung-tanggung Asghar mengambil contoh dari Uswah terbaik, Rasulullah ((Q.S.
al-Ahzab : 21), (Q.S. al-Qolam : 4), dalam menerapkan Teologi Pembebasan
itu dan membebaskan manusia dari penindasan dan penyembahan kepada selain
Allah. (Engineer, 1999 : 28)
BAB VI
MANAJEMEN FORUM DAN
TEKNIK PERSIDANGAN
VI.1 Pengertian Manajemen Forum
Dalam
suatu forum, dikenal istilah manajemen forum. Manajemen forum adalah suatu
bentuk pengaturan situasi atau keadaan peserta maupun bahan diskusi di dalam
forum rapat atau musyawarah. Suatu ‘tujuan’ terkadang dapat tercapai bahkan
seringkali terealisasi melalui manajemen forum ini.
Seberapa
penting dilakukan? Strategi perjuangan sebuah organisasi banyak sekali caranya
dalam upaya mengegolkan suatu tujuannya dalam permusyawaratan. Ada pembentukan
opini, manajemen konflik, ada opini publik, juga ada manajemen forum. Bagaimana
suatu forum dikondisikan sedemikian serupa sehingga terbentuk kondisi atau
situasi yang dapat memudahkan sekelompok orang atau suatu organisasi dapat
tercapai tujuan yang diinginkan.
Langkah-langkahnya
dapat berupa main gertak, main pukul meja atau lempar kursi, hal itu kalau cara
yang kasar. Ada pula cara yang lembut seperti dengan memberikan pernyataan yang
bertele-tele, atau memainkan waktu diskusi. Dapat pula dengan saling memberikan
justifikasi pada pendapat rekan yang yang memiliki pandangan maupun visi yang
sama dalam forum tersebut. Dan seringkali terjadi adalah adu debat hanya untuk
sebuah manajemen forum.
Lantas,
apa gunanya manajemen forum? Banyak, dan penting untuk dicoba. Untuk memberikan
penekanan suatu titik permasalahan atau hal yang ingin disampaikan. Misalnya
tentang Kriteria seorang Ketua. Di situ disampaikan secara berulang-ulang walau
materi penyampaiannya terkadang dibuat melebar atau potong permasalahan yang
kemudian kembali difokuskan lagi. Yang intinya kriteria versinya dapat
diakomodir dalam suatu forum diskusi atau permusyawaratan.
Semua
hal memiliki 2 buah sisi, positif dan negatif dan lagi-lagi semua ilmu yang ada
di dunia ini pada penggunaanya akan dikembalikan lagi pada niat pelakunya,
apakah ilmu itu akan digunakan untuk mencapai kemaslahatan bersama yang lebih
besar atau hanya sekedar mengacau bahkan mengarah pada menggolkan kepentingan
individu dan golongan tertentu dengan cara men-setting forum yang ada dengan
sedemikian baik. Yang terpenting adalah bagaimana kemudian bahasa-bahasa yang
digunakan masih berada pada lingkaran etis dan tetap memakai pola pikir terdidik
dan bijaksana.
Persidangan
resmi dilaksanakan atas dasar konstitusi dan atau kebutuhan forum. Didalam
persidangan resmi tersebut tentu pula ada tata tertib dan juga aturan main yang
harus dipatuhi, agar sidang yang akan dilaksanakan dapat berjalan dengan
tertib, teratur serta menghasilkan keputusan yang bersih, terpadu, dan sesuai
dengan kehendak bersama.
VI.2 Pengantar Teknik Persidangan
Proses pengambilan keputusan (decision making) dalam sebuah
organisasi merupakan hal yang penting serta memiliki posisi strategis, terutama
apabila organisasi tersebut dihadapkan pada persoalan yang sulit serta
mengancam stabilitas kelangsungan organisasi tersebut. Sebagai organisasi yang
memiliki warna demokrasi seperti halnya organisasi kemahasiswaan, langkah decision
making senantiasa diperlukan melalui jalan musyawarah antar anggota atau
musyawarah pengurus.
Secara etimologi sidang menunjukkan pada subjek yang terlibat dalam
suatu pertemuan yang resmi seperti sidang pimpinan/anggota, sidang hakim,
sidang jum’at dan sebagainya. Tujuan yang hendak dicapai dalam persidangan
adalah usaha komunikasi guna mencapai kesepakatan tertentu yang bermuara pada
proses pencapaian tujuan organisasi secara mufakat. Persidangan yang
dilaksanakan melalui jalan musyawarah tersebut menuntut adanya
kesepakatan-kesepakatan yang telah disetujui bersama oleh peserta sidang.
Sidang atau musyawarah atau rapat adalah suatu pertemuan untuk
memutuskan suatu perkara atau masalah. Persidangan diartikan sebagai suatu
forum yang dilaksanakan secara formal oleh suatu lembaga, organisasi atau
unit-unit lain dengan suatu persoalan atau menyangkut pertanggung jawaban
pengurus organisasi pada masa akhir kepengurusannya. Persidangan adalah
termasuk jenis diskusi karena didalamnya terdapat interaksi antara peserta
sidang untuk merumuskan suatu tujuan tertentu. Istilah persidangan memiliki
nilai yang lebih sekedar diskusi karena didalam persidangan menghasilkan
sesuatu yang akan memiliki kekuatan hukum. Hal itu dikarenakan bahwa
persidangan biasanya dilakukan oleh lembaga-lembaga formal atau nonformal yang
menempatkan persidangan sebagai forum tertinggi. Jadi persidangan sifatnya
lebih formal dan isi pembicaraannya lebih bersifat politik legal serta
menghasilkan keputusan-keputusan politik yang mengikat banyak orang serta
kepentingan.
Persidangan biasanya sangat alot, karena isi pembicaraan begitu
komplek serta berhubungan dengan tujuan ideal yang akan dicapai. Selain itu
dikarenakan banyaknya kepentingan yang muncul sehingga tidak heran apabila
suatu persidangan sangat alot dan kecenderungan panas yang mengundang kontak
fisik. Gesekan-gesekan dalam situasi persidangan adalah suatu hal yang biasa
karena didalamnya terjadi proses dialog atau debat untuk merasionalkan suatu
hal sehingga sering pula persidangan disebut “perang dinging atau perang
kata”.
Dalam
usaha mencapai suasana persidangan yang diharapkan, maka harus memperhatikan
faktor-faktor yang menunjang lancarnya persidangan yang meliputi:
- Akan kejelasan dan fokus masalah atau kasus dalam pokok persoalan yang akan dibahas.
- Dilaksanakan dalam suasana yang terencana dari segi waktu, tempat, maupun kesempatan.
- Dilandasi oleh sikap saling menghargai dan menghormati yang ditunjang dengan itikad baik untuk bersama-sama memikirkan kepentingan organisasi.
- Terlepas dari kepentingan pribadi dan ambisi pribadi yang berlebihan.
- Adanya komunikasi yang dinamis dan dijiwai semangat musyawarah mufakat.
- Konsisten dan konsekuen terhadap hasil-hasil persidangan secara mufakat.
- Etika persidangan adalah sikap atau prilaku yang harus dimiliki oleh setiap peserta sidang. Hal hal yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan sidang adalah:
- Saling menghormati dan menghargai antar peserta sidang selama persidangan berlangsung
- Tidak memaksakan pendapat
- Bersikap sopan santun
- Bersikap lapang dada
- Disiplin
- Retorika adalah gaya bahasa yang digunakan dalam mengemukakan pendapat, pernyataan atau pertanyaan. Hal-hal yang harus diperhatikan ketika berbicara dalam suatu persidangan adalah:
- Intonasi suara harus jelas dan tegas
- Tidak berbicara bohong atau harus sesuai dengan fakta dan data yang benar
- Tidak mengeluarkan kata-kata yang bersifat SARA
- Dalam mengemukakan pendapat tidak bertele-tele dan membingungkan peserta siding
- Bahasa yang digunakan mudah dipahami dan dimengerti oleh peserta siding
- Dalam mengambil keputusan harus berdasarkan kesepakatan bersama (suara fraksi)
VI.4 Komponen Persidangan
Kelengkapan persidangan terdiri dari: pimpinan sidang, notulen, ruang sidang, palu sidang, draft atau
konsideran, alat dan bahan yang dapat menunjang jalannya persidangan seperti, pengeras
suara, meja, kursi, alat tulis, kertas suara, kotak suara, dan sebagainya.
Bentuk pimpinan
sidang terdiri dari dua macam yakni:
- Pimpinan Sidang Tunggal
Pimpinan sidang tunggal terdiri dari: ketua, wakil ketua dan
sekretaris yang pada pelaksanaannya dapat diganti setiap session oleh anggota
persidangan.
- Pimpinan Sidang Presidium
Pimpinan sidang presidium adalah onggota persidangan yang ditugaskan
dalam persidangan dari mulai awal persidangan hingga akhir persidangan dan
bersifat sementara. Biasanya berjumlah ganjil yaitu 3 atau 5 orang yang
keseluruhannya disebut pimpinan-pimpinan presidium atau anggota presidium. Tugas
presidium sidang yaitu mengatur jalannya sidang secara umum baik itu pengaturan
lalu-lintas pembicaraan, memberikan kesempatan berbicara, menjatuhkan sanksi,
peringatan, memberikan tekanan pada persoalan penting, menjelaskan
rasionalisasi masalah dan sebagainya. Jika komponen sidang terpenuhi, maka
langkah selanjutnya adalah bagaimana mengatur mekanisme persidangan dengan
baik.
VI.5 Fungsi, Tugas,
Hak dan Kewajiban Komponen Persidangan
A.
Pimpinan
Sidang
- Tugas Pimpinan Sidang
-
Memimpin jalannya persidangan
agar berjalan tertib dan aman
-
Mempertemukan pendapat yang
berbeda, menyimpulkan pembicaraan dan mendudukkan persoalan yang sebenarnya
serta mengembalikan pada pokok permasalahannya
- Hak Pimpinan Sidang:
-
Mengatur urutan pembicaraan
-
Menetapkan waktu pembicaraan
-
Meluruskan pembicaraan yang
menyimpang dari pokok permasalahan.
- Kewajiban Pimpinan Sidang:
-
Mengendalikan proses
persidangan
-
Mencatat proses dan hasil-hasil
persidangan
-
Membuat laporan dan hasil-hasil
persidangan
-
Menetapkan hasil persidangan
B.
Peserta Sidang:
1.
Hak Peserta Sidang:
-
Mengeluarkan pendapat baik
secara lisan dan atau tulisan
-
Memperoleh prioritas yang sama
tanpa adanya diskriminasi
- Kewajiban Peserta Sidang:
- Menjaga kelancaran
persidangan
-
Mempertanggung jawabkan
statemen yang diajukan
C.
Hak Pers dan Peninjau
Hak dari Pers dan Peninjau hanyalah sebagai pengawas forum
persidangan.
D.
Ruang siding
Ruang sidang berfungsi
sebagai forum pembahasan draf dan efektifitas persidangan.
E.
Palu Sidang
Palu sidang berfungsi untuk pertanda hasil keputusan, mencabut keputusan, membuka
persidangan, menutup persidangan, menenangkan forum, dll.
F.
Draf Agenda berfungsi sebagai:
a.
Lembar kesepahaman / pembahasan
b.
Bukti autentik guna mendukung
keteraturan siding
c.
Lembar rekomendasi
G.
Isi Draf
Agenda
a.
Agenda acara
b.
LPJ (dalam Sidang Pleno)
c.
Rekomendasi Organisasional
(dalam Sidang Komisi)
d.
AD/ART (dalam Sidang Umum/
Sidang Tahunan)
e.
Tata Tertib Persidangan
f.
Job Describtion Hierarkis
(dalam Sidang Tahunan)
VI.6 Mekanisme Persidangan
Dalam praktek persidangan ada beberapa istilah yang sering digunakan
baik oleh peserta maupun oleh pimpinan sidang sebagai aturan tertib sidang
diantaranya:
- Ketukan palu sidang
Dalam persidangan, hal yang penting yang tidak bisa dipisahkan dari
suatu proses pengambilan keputusan yaitu palu sidang. Pentingnya palu sidang
ini dari segi peran dan fungsinya oleh karena itu sering disebut nyawa dari
persidangan. Aturan ketukan palu sidang untuk mengatur jalannya persidangan
harus diperhatikan oleh seseorang pimpinan sidang agar tidak membawa masalah
berikutnya. Pimpinan sidang dituntut waswas dalam menentukan ketukan palu
sidang tersebut yang sebenarnya merupakan senjata bagi pimpinan sidang apabila
digunakan secara benar. Adapun aturan penggunaan adalah sebagai berikut.
a.
Satu ketukan : Hasil
kesepakatan
b.
Dua ketukan: Mencabut hasil
keputusan, pending, membuka & menutup sidang
c.
Tiga ketukan: Menetapkan
keputusan akhi
d.
Empat ketukan: Menertibkan
sidang
- Lobying
Proses pembicaraan informal peserta sidang diluar acara persidangan
apabila suatu keputusan atau kesepakatan tidak dapat dicapai dalam persidangan.
Terlebih dahulu persidangan diskor/dihentikan oleh pimpinan sidang dengan waktu
yang ditentukan.
- Skorsing
Skorsing persidangan dapat dilakukan apabila menghadapi permasalahan
dalam persidangan baik berupa penyegaran, deadlock ataupun menghadapi
keadaan darurat dan gangguan pembicaraan. Hal ini dilakukan oleh pimpinan
sidang dengan jalan menghentikan persidangan dengan waktu yang ditentukan.
- Usul
Usul yaitu keinginan dari peserta sidang atau pimpinan sidang pada
saat persidangan berlangsung.
- Interupsi
Interupsi adalah memotong pembicaraan peserta atau pimpinan sidang
oleh peserta sidang. Dilihat dari kekuatannya, interupsi dari peserta sidang
tidak dapat ditolak oleh pimpinan sidang dan harus diberikan waktu
interupsi.Sedangkan usul boleh ditolak atau tidak dapat diberikan kesempatan
sama sekali oleh pimpinan sidang untuk dikemukakan. Adapun
macam-macam interupsi adalah:
a.
Point of Order
Yaitu memotong pembicaraan orang lain atau mengusulkan kepada
pimpinan sidang meminta bicara tentang persoalan yang sedang dibicarakan.
b.
Order
c.
Yaitu memotong pembicaraan
orang lain atau mengusulkan kepada pimpinan sidang untuk memberi tawaran atas apa yang menjadi topik
pembicaraan
d.
Information
Yaitu memotong pembicaraan orang lain atau mengusulkan kepada
pimpinan sidang untuk memberikan informasi kepada peserta sidang.
e.
Correction
Yaitu memotong pembicaraan orang lain atau mengusulkan kepada
pimpinan sidang untuk menjelaskan atau meluruskan permasalahan yang sedang di bahas.
f.
Solution
Yaitu memotong pembicaraan orang lain atau mengusulkan kepada pimpinan
sidang untuk menawarkan solusi
VI.7 Mekanisme
Persidangan yang Ideal
1.
Memperhatikan Ketepatan Waktu,
hal ini dimungkinkan untuk memperhatikan efektifitas serta efisiensi sidang
(keputusan, suprastruktur serta infrastruktur persidangan).
2.
Memperhatikan Quorum,
Persidangan ideal harus dihadiri dan atau disetujui oleh 2/3 anggota Quorum.
3.
Memperhatikan Demokratisasi,
artinya persidangan harus saling menghargai dan menghormati konstitusi forum.
4.
Memperhatikan Visi Persidangan,
Persidangan haruslah mempunyai niatan yang baik untuk menyelesaikan
permasalahan (Timokrasi).
VI.8 Macam-macam Persidangan
1.
Sidang Pleno: Sidang untuk
membahas hasil kesepakatan
2.
Sidang Komisi: Sidang
rekomendasi organisasional
3.
Sidang Istimewa: Sidang yang
diadakan sesuai kesepakatan hierarki
4.
Sidang Luar Biasa: Sidang untuk membahas
perubahan hasil konstitusi
5.
Sidang Paripurna: Sidang keputusan akhir
6.
Sidang Umum/ Tahunan : Sidang yang membahas LPJ dan atau AD/ART
sebagai rekomendasi tahun berikutnya
7.
Mubes: Sidang lima tahunan
untuk membahas perubahan struktur hierarkis
VI.9 Quorum
dan Pengambilan Keputusan
1.
Quorum
g. Sidang dianggap sah apabila dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari
peserta sidang
h. Apabila point 1 tidak terpenuhi, maka sidang akan ditunda sesuai
dengan kesepakatan forum
i. Apabila point 2 tidak terpenuhi, biasanya sidang akan tetap
dilanjutkan dengan semestinya
2.
Pengambilan Keputusan:
a.
Setiap pengambilan keutusan
diusahakan melalui Musyawarah Mufakat
b.
Apabila point 1 tidak
terpenuhi, maka diadakan Lobbying antara pihak yang berbeda pendapat
c.
Apabila point 2 tidak
terpenuhi, maka diadakan Voting
d.
Pengambilan keputusan melalui Voting
dilakukan dengan bebas, jujur dan adil serta bertanggung jawab
BAB VII
RENCANA, STRATEGI
DAN MANAJEMEN AKSI
VII.1 Pengantar Manajemen Aksi
Hal
yang paling dasar dalam PMII adalah pembekalan dirinya dengan kapasitas
intelektual yang memadai. Karena tanpa dasar konsepsional yang jelas, gerakan
PMII juga tidak akan menemukan kejelasan pada wilayah strategi dan taktik
gerakannya. Apalagi, asumsi dasar pergerakan adalah berawal dari konteks yang
bernama pendidikan. Muh. Hanif Dakhiri dan Zaini Rahman (2000), mengutip Ben
Agger (1992), mengatakan bahwa titik berangkat paling strategis bagi PMII
adalah mentransformasikan kehidupan intelektual sebagai investasi soial,
politik dan kebudayaan.
Dalam
kontkes inilah, semangat liberasi
(pembebasan) dan independensi
(kemandirian) yang pernah lahir dalam sejarah pemikiran PMII
menjadi sebuah rujukan yang cukup signifikan. Wilayah pembebasan dari konteks
penindasan, baik dari represifitas otoritas politik (negara-militer-partai),
maupun otoritas soial (agama, pendidik,) dan ekonomi (pasar). Dengan filosofi
liberasi akan terjadi proses perjuangan melampaui segala beban berat kehidupan
demi melanjutkan amanat kemanusiaan, sesuai dengan mandat yang diperoleh dari
Nilai Dasar Pergerakan (NDP).
Sejalan
dengan semangat liberasi dan independensi di atas itulah, PMII juga harus
berperan menciptakan ruang bagi publik (public sphere) yang kondusif
untuk mengembangkan kehidupan. Di titik inilah, Free Market of Ideas (FMI) menjadi signifikan untuk
diciptakan pada ruang-ruang kemasyarakatan, kenegaraan dan keilmuan. Karena
perlawanan terhadap hegemoni negara, ideologi, pasar dan agama harus dihadapi
dengan membuka sekian pintu kesadaran yang sengaja dikunci demi kepentingan
kekuasaan.
Pada
perbincangan tadi, kita sebenarnya sedang bergulat dengan dasar dan semangat
pergerakan untuk perlawanan. Dasar pergerakan ini akan menjadi lebih tajam,
sebagai sebuah kerangka jawaban bagi persoalan kemasyarakatan apabila kita jeli
dalam melihat persoalan yang mengemuka, baik pada level pembacaan situasi global (sit-glob), situasi nasional (sit-nas)
maupun situsasi lokal (sit-lok).
Maka perbincangan kita akan kita dekatkan dengan pembacaan atas “struktur penindasan” dan “situasi kemasyarakatan” yang ada
di dalamnya, yang akhirnya nanti bisa kita jadikan landasan untuk membuat “situasi perlawanan”.
VII.2 Pembacaaan
atas Situasi Penindasan dan Kemasyarakatan
Arus
utama dalam pembacaan atas situasi penindasan tidak akan bisa dilepaskan dari
sebuah era yang dikenal dengan era “globalisasi”. Karena di era inilah,
sekarang kita hidup dan menghadapinya dengan segala ketidakpastian. Ilmuwan
yang mengkaitakan globalisasi dengan situasi penindasan adalah Deepak Nyyar (1998) yang
mengatakan bahwa fase globalisasi dibagi menjadi dua, Pertama, fase
imperialisme Inggris yang terjadi pada range 1870 – 1913 yang memakai
payung ideologi kapitalisme klasik dengan
doktrin yang terkenal dari Adam Smith “leizzis faire” (pasar yang
sebebas-bebasnya, tanpa campur tangan negara). Kemudian fase kedua, adalah
dekade 70-80an ketika roda perekonomian bergerak ke Amerika Serikat yang
mendorongkan semangat yang hampir sama dengan fase sebelumnya di bawah ideologi
neo-liberalisme. Mengamini pendapat di atas, James Petras (2001)
mengatakan bahwa di dalam globalisasi yang menjadi slogan Barat, sesungguhnya
terdapat semangat dan kepentingan imperialisme dengan agenda penguasaan dalam
arti yang sangat luas, baik dalam arti material (SDA) maupun mental (SDM) atas
dunia ketiga.
Dengan
berpijak pada tiga doktrin, yakni Librealisasi
(kebebasan dalam arti ekonomik), deregulasi (tidak ada peraturan negara yang mengatur
arus lintas barang/jasa dan tidak ada subsidi bagi rakyat) dan privatisasi (BUMN harus
dijual pada swasta/pemodal), neoliberaslisme berjalan melewati setiap negara
yang sudah tidak berdaya karena lilitan hutang Luar Negri (HLN) . Dengan
tekanan HLN, inilah para negara donor-kapitalis (Uni Eropa, USA dan Jepang)
membuat peraturan-peraturan yang dipaksakan bagi negara dunia ketiga untuk
meliberalisasi kehidupan ekonominya. Lembaga seperti International Monetary
Fund (IMF), Paris Club, CGI dan WTO menjadi sangat efektif dalam melakukan
kerja-kerja imperialisme dengan baju globalisasi. Setelah penghambat (peraturan
Bea dan Cukai dll) bagi perdagangan bebas sudah bisa dikendalikan,
perusahaan-perusahaan besar yang dimiliki negara kapitalis yang sering disebut
dengan Trans-National Corporation
(TNC) dan Multi-National
Corporation (MNC) mulai menancapkan kukunya di negeri
pertiwi. Pada saat inilah, budaya lokal dan aset kekayaan alam lainnya akan
disedot habis oleh para investor asing, dan akhirnya kita jadi terasing di
negeri sendiri. Dan yang lebih parah, kita menjadi budak di negeri sendiri
dengan upah yang sangat rendah.
Dalam
relasi penindasan yang demikian, masyarakat kita sebagian besar tersituasikan
pada posisi yang semakin hari semakin memprihatinkan. Petani tidak bisa menjual
gabah dan padinya dengan harga yang tinggi karena kalah bersaing dengan padi
dari luar. Hal yang sama kita jumpai pada komoditas gula, buah-buahan dan
barang keseharian lainnya. Dalam kondisi itu negara sudah tidak berdaya lagi
karena tekanan dari Lembaga Donor untuk tidak memberikan subsidi pada rakyat.
Kenaikan BBM, Listrik dan telepon adalah imbas dari pemotongan subsidi demi
pembayaran hutang. Demikian juga kenaikan biaya pendidikan juga bisa dilihat
dari perspektif ini. UU no 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS adalah gambaran dari
gelagat negara yang ingin melepas tanggungjawabnya atas subsidi pendidikan,
sehingga membuka peluang terjadinya komersialisasi
dan kapitalisasi pendidikan. Persoalan bertambah runyam ketika fondasi
perekonomian kita semakin lemah dan berimbas pada sektor tenaga kerja yang
semakin kehilangan lapangan pekerjaan.
Dalam
konteks semakin cepatnya laju dan arus globalisasi, kita malah secara politik
masih sibuk dengan pertarungan kepentingan kelompok-kelompk elit yang sebagin
besar tidak memihak rakyat. Pertarungan elit, baik di level eksekutif,
Legislatif maupun partai yang kadang di antaranya melibatkan kekuatan militer,
akhirnya berimbas pada kehidupan sosial politik masyarakat yang terpecah belah.
Separatisme, konflik berbasis SARA adalah beberapa contoh yang bisa disebutkan,
sebagai imbas dari amburadulnya budaya politik di level negara. Di sisi budaya
kita sedang digiring untuk menjadi orang yang tercerabut dari akar sejarah dan
budayanya. Kita semakin bangga kalau kita semakin Barat dan bisa meniru mereka
pada sisi kehidupan yang sekecil-kecilnya. Kita tidak sadar sedang didorong
untuk menjadi orang konsumeris untuk
menjadi pelanggan dari pasar yang dibuka oleh orang barat. Watak ini dalam
sejarah bangsa kita sering diosebut dengan watak inlander. (Gus Iim ; 2001).
Dampak
lain dari globalisai, adalah semakin mengentalnya paham-paham keagamaan yang
akhirnya melahirkan gerakan-gerakan fundamentalisme agama. Islam adalah agama
yang sering menjadi sorotan dalam kaitannya dengan fenomena ini, terutama
dengan kerja-kerja terorisme yang semakin hari semakin merebak. Peristiwa 11
September (black tuesday), Bom Bali, Bom J.W Marriot semakin meyakinkan
asumsi bahwa fundamentalisme agama sebagai sebuah resistensi terhadap
globalisasi yang sangat West-biased (bias Barat); atau bisa dikatakan
fundemantalisme pasar sedang berhadapan dengan fundamentalisme keagamaan
(Islam).
Walaupun gerakan fundamentalisme
Islam melawan kekuatan kapitalisme Barat, akan tetapi dalam konteks nalar
sosial-keagamaannya, pemahaman tekstual (skripturalistik) terhadap
ajaran dan doktrin agama sangatlah kental. Ruang-ruang ekspresi kontekstual
menjadi semakin sempit, dan ajaran akhirnya dipahami sebagai sesuatu yang
sangat kaku dan baku, karena pluralitas tidak menjadi bagian dalam kesadaran
tafsir mereka. Sehingga gerakan fundamentalis Islam cenderung gampang
mengkafirkan dan menggunakan kekerasan terhadap orang yang tidak satu pendapat
dengannya dan menggolongkannya sebagai “the other”.
Dari sekian pembacaan atas situasi
penindasan dan situasi kemasyarakatan di atas, kita mencoba membuat sebuah pola
umum untuk memudahkan membuat sebuah strategi perlawanan dan situasi-situasi
apa saja yang harus dibuat. Untuk ini, perlu melihat tulisan Eman Hermawan
(2001) yang membagi masyarakat dalam 3 lokus, yaitu : Civil Society (masyarakat
sipil: Ormas, LSM, Gerakan mahasiswa, kelompok-kelompok masyarakat lain), Political
Society (Masyarakat Politik: negara, partai politik) dan Economical
Society (masyarakat ekonomi: Pengusaha Pribumi, Investor, Spekulan,
MNC/TNC). Dalam kerangka 3 lokus masyarakat inilah strategi dan taktik gerakan
PMII akan dijelaskan dengan tetap memakai kerangka liberasi dan independensi, dengan mendorongkan Free Market of Ideas (FMI)
dan menggunakan paradigma yang kritis
dan transformatif.
LOKUS
MASYARAKAT
|
STRATEGI
GERAKAN
|
Civil
Society
|
Konteks
Kesadaran
¯ Kritis –
transformatif
¯ Pluralisme
dan berwawasan kebangsaan
¯ Sadar akan
bahaya budaya konsumerisme
¯ Kearifan
lokalitas dan tradisi
¯ Mengikis
budaya patriarkhi yang menyebabkan ketimpangan gender
Konteks
Gerakan
¯ Membuat
kantong-kantong kritis dengan diskusi kerakyatan
¯ Live In dalam
kerangka advokasi dan pendampingan
¯ Membuat
ruang-ruang perekonomian rakyat
¯ Memperkuat
bergaining politik terhadap masy. politik
¯ Kesenian dan
budaya sebagai perlawanan
¯ Aksi massa
dalam rangka injeksi kesadaran massa rakyat dan mendesakkan perubahan
kebijakan publik
|
Masyarakat
Politik
|
Negara
¯ Penguatan posisi negara terhadap tekanan pasar dan
negara kapitalis dengan regulasi
¯ penegakan supremasi hukum dan pemberantasan KKN
¯ Kemampuan negara untuk mengolah ruang publik
menjadi lebih terbuka dan transparan
¯ Penguatan sektor ekonomi untuk tenaga kerja
¯ Legislatif
yang peka dan aspiratif
Par-pol
¯ Menolak
elitisme par-pol
¯ Membuat ruang
bargaining politik dengan parpol
¯ Menolak
partai yang berselingkuh dengan modal
¯ Menolak
penggunaan aset negara untuk kepentinga partai tertentu
|
Masyarakat
Ekonomi
|
¯ Pengusaha dan
pemodal pribumi yang berpihak pada rakyat
¯ Menciptakan
pasar yang berkeadilan dengan tetap ada peraturan bersama (governance)/
doktrin ekonomi ke- Indonesiaan
¯ Membiarkan
serikat buruh berdiri sebagai kontrol dan dialektika
|
Strategi yang masih merupakan pola umum dalam konteks
perlawanan, harus diterjemahkan dan dikerucutkan dalam kerja-kerja taktis.
Antono Gramsci (1956) membagi 3 wilayah taktik gerakan atau perang (war), yakni
: war of position (perang posisi), war of opinion (perang opini)
dan war of movement (perang gerakan). ketiga wilayah pergerakan ini
menjadi landasan awal untuk membingkai stratak gerakan PMII saat ini.
Konteks pergerakan, minimal dari pelajaran Gramsci di
atas, haruslah memenuhi 3 ruang, yaitu ruang penegasan jati diri organ atau
posisi sikap sejarah terhadap situasi yang sedang berlangsung, ruang dialektika
pemikiran dan gagasan sebagai dasar rasionalitas atas posisi yang dipilih dan
ruang praksis yang menjadi indikator perubahan dengan sebuah dorongan konkret
baik di level massa kader, maupun massa rakyat.
Secara jelas derivasi taktik dari
masing-masing ruang dijelaskan dalam bagan sebagai berikut:
WAR
OF POSITION
|
WAR
OF OPINION
|
WAR
OF MOVEMENT
|
Nilai
Dasar Pergerakan
Aswaja
Paradigma
Kritis Transformatif
Liberasi,
Independensi dan Empowering
Tradisionalisme
Kritis
|
A. Konteks
Gagasan
· Tentang masyarakat
· Tentang pasar
·
Tentang Negara
B.
Konteks Manajemen Issu
· Basis media
· Basis intelektual kader
· Basis massa (diseminasi gagasan di level
masyarakat)
|
A. Kaderisasi
·
Formal
·
Non-formal: (Kantong-kantong kader : diskusi, jalanan, organisasi, kesenian
dll)
·
Informal
B. Pengorganisiran
·
Level kampus (antropologi kampus)
·
Level organ gerakan
·
Level basis massa rakyat
C.
Desakan ke otoritas
·
Kebijakan publik
· Kuasa sosial-ekonomi
·
Kuasa agama
|
Bagaimanapun gerakan harus
dipraksiskan. Seandainya basis massa belum diraih, maka tidak ada alasan untuk
diam. Aksi massa harus segencar mungkin dilancarkan untuk mendorongkan semangat
perubahan, sekaligus menjadi momentum untuk memberi injeksi kesadaran bagi
massa rakyat. Yang harus diperhatiakan dalam aksi massa adalah perangkat aksi dan
perlengkapan aksi. Perangkat
Aksi/Panitia Aksi:
1. Lunak : Issu dan tujuan dari aksi
massa.
2. Keras, meliputi kepanitiaan lapangan:
a. Kordinator Umum (kordum) sebagai
penanggungjawb aksi dan pembaca statemen atau pernyataan sikap
b. Kordinator lapangan (korlap) yang
mengatur jalannya massa aksi
c. Tim materi yang membuat pernyataan
sikap, selebaran dan press release
d. Negosiator untuk melobi aparat, atau
segala hal yang ditemui di lapangan
e. Kurir untuk melihat kondisi di
depan, belakang dan samping barisan.
f. Keamanan / security:
- Ring dalam untuk mengatur masa aksi
- Ring luar untuk menjaga massa dari serangan dari
luar
g. Logistik atau konsumsi
h. Tim Evakuasi yang akan menentukan
titik evakuasi kalau ada seranga, dan siap dengan kerja evakuasi atau
pengamanan
i. Tim advokasi untuk mengantisipasi
persoalan sampai tingkat persidangan, dengan menghubungi LBH-LBH terdekat
j. Happening Art
k. Perlatan dan perlengkapan (perkap)
aksi
l. Megaphone atau pengeras suara
m. Spanduk
n. Poster
o. Bendera organ
p. Tali Rafia (garis
demokrasi/revolusi)
q. Tanda pengenal atau slayer untuk
identitas massa aksi
r. Selebaran, pernyataan sikap dan
press release
s. Transport dan HP/HT untuk kurir dan
keamanan
VII.3 Pengorganisiran dan Mobilisasi Massa
Berdasarkan Situasi Nasional
- Mengorganisir, memobilisasi, menggerakan dan memimpin perlawanan mereka (baik dalam satu isu khusus/lokal :kampung, pabrik, desa, kampus hingga isu umum sektoral bahkan isu umum yang lintas sektor).
- Membentuk wadah-wadah perlawanan massa permanen.Wadah-wadah permanen ini bila berhasil dijaga dan terus diperbesar akan menjadi kekuatan pelopor kita untuk menggerakan massa secara lebih besar lagi.
- Mempercepat pengkaderan (rekruitment).
Ketiga proses diatas dilakukan secara bersamaan. Sambil kita
mengagitasi dan membuat struktur perlawanan.
1.
Prinsip pengorganisiran:
a.
Agitasi/Propaganda/Kampanye.
Keberhasilan sebuah aksi yang besar dan direncanakan akan sangat
tergantung (apalagi bagi organisasi yang masih kecil) dari keberhasilan
kerja-kerja agitasi/propaganda/kampanye yang didasarkan pada tuntutan umum
massa yang tidak mau dipenuhi oleh pemerintah (lain halnya dengan aksi massa
besar yang spontan akibat ledakan, yang tidak mungkin diperkirakan).
Keberhasilan dari kerja-kerja ini terlihat dari:
-
Terbangunya atmosfer
isu-isu atau tuntutan-tuntutan yang dipropagandakan.
-
Kesiapan (dukungan)
massa secara luas untuk terlibat dalam rencana aksi (termasuk menarik
aliansi/sekutu/kelompok).
-
Kesiapan subjektif
organisasi memimpin aksi ini.
-
Reaksi pemerintah.
-
Bila aksinya terbuka)
maka tanggal aksi (serta tempat aksi) juga menjadi populer di massa.
Semua
alat-alat propaganda harus selalu dihubungkan dengan perluasaan propaganda isu
yang kita pergunakan untuk aksi. Jadi setelah disepakati isunya, maka semua
terbitan, poster, statement, diskusi, seminar, selebaran, grafity action
(corat-coret) harus dihubungkan dengan hal diatas.
2. Pengorganisiran
Kerja-kerja propaganda dan agitasi harus juga sejalan dengan pengorganisiran massa guna persiapan aksi tersebut. Artinya seluruh pengorganisiran massa harus dipergunakan “nantinya” untuk kekuatan aksi yang kita selenggarakan.
Secara umum “organisir”aksi ini harus terwujud secara massal. Dari mulai mengkonsolidasikan basis kita yang sudah terorganisir hingga perluasaanya. Ini harus menjadi tugas pekerjaan/pengorganisiran bukan saja bagi kader melainkan setiap massa yang terlibat aktif dalam rencana aksi. Sejak awal pengorganisiran harus terbangun jaringan agen/koordinator pengorganisiran (yang akan diperbaiki dalam setiap perkembangan pengorganisiran). Secara ekstrem dapat dikatakan “setiap hari” harus ada tambahan jumlah massa yang bisa diajak aktif untuk acara ini (menjadi organiser). “Setiap hari” harus ada tambahan kontak baru yang mau mengkonsolidasikan tempatnya (tempat tinggal/kerja) untuk diajak ikut rencana aksi ini. “Setiap hari” harus ada kontak perluasaan daerah basis yang bisa diajak dan aktif membangun kekuatan dibasis daerahnya.
a.
Jumlah basis (yang diorganisir
dan perluasan/kontak), semua laporan perkota dan basis diatas)dilaporkan
kembali.
b.
Laporan kekuatan massa pelopor
untuk memimpin/mendorong massa dalam kota/basis terlibat dalam aksi.
c.
Laporan distribusi selebaran,
poster dan corat-coret dan distribusinya.
d.
Kesimpulan dari
respon/tanggapan/usulan massa di seluruh basis yang diorganisir dan massa umum
kaum buruh maupun non buruh.
e.
Respon penguasa, penduduk
setempat, aparat dan pemerintah.
f.
Evaluasi pengorganisiran
g.
Evaluasi struktur
koordinator/agen/mobilisasi hingga perubahannya.
h.
Rencana kedepan (hingga
pertemuan wilayah).
3.
Rapat Umum (semua koordinator dari seluruh tingkatan)
Menjelang hari H akan ada pertemuan besar (seluruh koordinator
hingga koordinator terkecil untuk cek kesiapan massa).
4.
Taktik Strategi Atas:
Pada saat ini sangat mungkin untuk mempergunakan strategi atas untuk
mendukung dan memaksimalkan kerja-kerja dibawah. Yang dimaksud strategi atas
disini bukan saja persoalan kampanye (seperti dalam bentuk seminar terbuka)
melainkan melakukan seruan aksi nasional terbuka jauh-jauh hari. Kita tidak
akan melakukan ini jika tidak terlihat kesiapan hasil kerja sahabat-sahabat di
pengorganisiran. Setelah dilihat kesiapan untuk melakukan mobilisasi umum
nasional/wilayah, maka pimpinan pusat/wilayah akan mengeluarkan seruan terbuka
tentang aksi itu. Ini dilakukan juga paling cepat satu bulan sebelum aksi
dilakukan. Setelah ini harus dilakukan dukungan dari daerah-daerah baik berupa
konferensi pers maupun aksi agar terlihat kebesaran dari rencana aksi nasional.
Dukungan juga harus datang dari organisasi lain : Mahasiswa, LBH, LSM hingga
partai-partai dan tokoh-tokoh. Adanya tanggapan dari pemerintah biasanya akan
justru mendorong kampanye kita (memperluas atmosfer agitasi propaganda kita).
Kerja-kerja pengorganisiran di bawah dapat lebih terdorong lagi. Walaupun
kemungkinan represif dan kontra aksi akan dilakukan aparat keamanan, pengusaha
dan pemerintah. Lain-Lain : Seminar, talk show dll.
VII.4 Aliansi / Front
Kesiapan kita untuk melakukan
mobilisasi massa umum harus dilakukan sesuai dengan target kita. Cara-cara yang
dipergunakan dalam aliansi/front harus diusahakan semua tuntutan, program dan
taktik kita dapat diterima. Melihat watak kelompok-kelompok massa yang ada.
Aliansi/front akan sangat mungkin terbentuk/terdorong jika kita berhasil
melakukan pra kondisi. Dengan cara mempelopori pra kondisi kita juga dapat
memimpin.
Aksi Pra Kondisi :
Aksi pra kondisi yang dilakukan
dimaksudkan untuk melihat tingkat konsolidasi dan persiapan massa sebelum aksi.
Aksi yang terpenting adalah aksi rally, demo, rapat akbar di satu kawasan/kota.
Jadi aksinya di basis massa. Ini dimaksudkan untuk memaksimalkan kerja
propaganda dan mencek tingkat dukungan massa dan latihan bagi mobilisasi pada
hari H nantinya. Sebelum aksi ini dilakukan terlebih dahulu dilakukan kampanye
baik dalam strategi bawah (pengorganisiran, selebaran) maupun strategi atas :
Konferensi pers atau kalau perlu ada aksi awal dengan mengadakan aksi
mendatangi DPR, Depnaker dll.
Catatan tentang front : Bila front berhasil terbentuk maka kegiatan
yang dilakukan dapat dilakukan atas nama front termasuk siapa yang menyerukan
aksi (nasional) dan dukungan daerah. Tetapi yang harus diingat kita tetap harus
menjalankan program kita dan independen terhadap taktik kita bila front tidak
menyetujui ini menjadi keputusan mengikat.
Seluruh kerja diatas harus dapat
dikontrol secara penuh oleh partai. Kontrol disini bukan saja dimaksudkan untuk
menerima laporan kerja sahabat-sahabat melainkan juga memberikan arahan secara
regular dan konsisten dan membantu pekerjaan ini secara sistematis. Semua
kerja-kerja di pengorganisiran (pabrik, kota, wilayah) harus dilaporkan secara
rutin hingga kepusat. Hingga jauh-jauh hari sebelum hari H sudah bisa dilihat
kesiapan dan kemungkinan keberhasilan aksi tersebut.
Semua tindakan kerja-kerja
pengorganisiran (dalam setiap pertemuan dan diskusi massa) dilakukan dalam satu
gerak yang sama yaitu:
- Agitasi dan propaganda : agitasi isu, propaganda untuk bersatu, tuntut ke pemerintah.
- Kondisi basis (tempat kerja/tinggal) dan massa (untuk menetapkan taktik pengorganisiran) : jumlah massa, geopolitik basis, isu/tuntutan/persoalan basis.
- Pertemuan berikut di basis-basis yang lebih kecil.
- Pemilihan koordinator sementara.
- Ada absensi.
- Seruan untuk mengajak kontak dalam pertemuan massa berikut.
- Kerjaan ini terus dilakukan berulang-ulang di setiap basis baru hingga menjelang hari H.
Catatan: Bila satu basis telah terkonsolidasi
maka pertemuan pertemuan massa
di basis dapat dihentikan dan digantikan hanya dengan tugas penyebaran bacaan
dan mencari kontak di tempat lain. Tetapi pertemuan seluruh koordinator dalam
satu basis tetap dilakukan.
A. Pertemuan
koordinator dibasis yang paling kecil: pabrik/kampung/desa/kampus:
Laporan
(ditulis) :
- Jumlah kumpulan (sesuai dengan struktur mobilisasi), berapa massa yang hadir dalam kumpulan (dari absensi). Dari kumpulan yang ada berapa % kemampuan untuk memobilisasi massa di basis tersebut.
- Jumlah selebaran/poster yang didistribusikan dan corat-coret yang dilakukan.
- Respon/tanggapan/usulan massa dan respon penguasa
- Kontak massa lain yang ikut kumpulan.
- Rencana pengorganisiran berikut/perluasan.
- Evaluasi pengorganisran
- Evaluasi struktur koordinator/agen/mobilisasi hingga perubahannya
- Rencana ke depan (hingga pertemuan kota/wilayah terdekat).
- Lain-lain
B. Pertemuan kota/wilayah (pertemuan koordinator-koordinator
basis terkecil):
Laporan Per kota (ditulis) :
· Geo-politik :
jumlah massa, pengalaman revolusioner massa kota , peta geo-politik kota,
lokasi kekuatan massa yang telah terorganisir, lokasi-lokasi basis strategi
(sasaran pengorganisiran), kondisi masyarakat setempat, aparat, rute-rute jalan,
transportasi dll.
· Jumlah basis (yang
diorganisir dan perluasan/kontak): semua laporan basis terkecil dilaporkan
kembali.
· Laporan kekuatan
massa kepeloporan untuk memimpin/mendorong seluruh massa dalam satu
“kota/lokasi” terlibat.
· Laporan distribusi
selebaran, poster dan corat-coret dan distribusinya.
· Kesimpulan dari
respon/tanggapan/usulan massa di seluruh basis yang diorganisir dan massa umum.
· Respon massa
setempat dan aparat.
· Evaluasi
pengorganisiran.
· Evaluasi struktur
koordinator/agen/mobilisasi hingga perubahannya.
· Rencana ke depan
(hingga pertemuan wilayah)
C.
Pertemuan wilayah (pertemuan koordinator kota yang bisa diperluas
melibatkan koordintor basis).
Laporan wilayah (ditulis) :
· Geo politik wilayah
: jumlah massa, pengalaman revolusioner massa wilyah, peta geo-politik wilayah,
lokasi kekuatan kota-kota yang di organisir, lokasi-lokasi kota strategis
(sasaran pengorganisiran), kondisi masyarakat setempat, penguasa, aparat,
rute-rute jalan, transportasi, dll.
· Jumlah kota yang
menjadi basis.
VII.5 Bentuk-bentuk Agitasi
1. Agitasi-Propaganda tertulis
a.
Agitasi dan propaganda terbuka/umum/massal. Untuk aksi wilayah maka agitasi lewat poster biasanya sangat efektif
untuk mensosialisasikan tuntutan-tuntutan kita, untuk membangkitkan atmosfer
perlawanan disana. Apalagi ketika basis kita di wilayah tersebut masih lemah.
Penempelan poster harus ditempelkan di tempat-tempat strategis yaitu tempat
berkumpul massa.
b.
Agitasi lewat selebaran. Tanpa selebaran tidak
mungkin ribuan, puluhan ribu massa dapat kita organisir. Karena tidak mungkin
kita mengumpulkan ribuan massa dan membicarakan hal ini, disamping tidak aman
juga tidak ada tempat. Selebaran ini sifatnya bukan saja sebagai alat untuk
agitasi dan propaganda melainkan lewat selebaran ini struktur agen-agen
mobilisasi dibentuk/dibangun. Lewat selebaran ini massa dapat digerakan secara terorganisir, patuh dan disiplin
terhadap seluruh keputusan taktik-taktik yang kita buat. Massa akhirnya bisa
dipimpin lewat selebaran. Biasanya setelah selebaran kedua maka massa akan
mengerti bahwa ia akan dipimpin oleh selebaran. Jadi pada dasarnya agen
selebaran adalah juga agen mobilisasi sama dengan struktur mobilisasi kita.
Selebaran juga berfungsi untuk keamanan rencana aksi. Lewat selebaran maka
pertemuan-pertemuan massa dapat diperkecil. Hanya agen-agen misalnya.
Catatan: Selebaran tidak hanya dipergunakan pada pra aksi melainkan juga pada
pasca aksi hari pertama atau untuk menggerakan aksi kembali, memperluas aksi
dll. Di tempat-tempat di distribusikannya selebaran atau poster penting
untuk dikirimkan sahabat ke lokasi ini. Tujuannya untuk mengagitasi dan
selanjutnya mendapatkan kontak untuk diorganisir.
2.
Agitasi-Propaganda Oral
a.
Agitasi dan Propaganda lewat
pertemuan/kumpulan
Ini suatu tindakan yang penting adalah untuk meyakinkan massa dan
mengaktifkan mereka dalam rencana kita. Karena biasanya ada persoalan-persoalan
ataupun pertanyaan dari massa akan suatu hal yang tidak ia dimengerti. Artinya
agitasi dan propaganda kita lewat selebaran harus juga dibarengi dengan
agitasi-propaganda lewat pertemuan. Lewat pertemuan kita bisa menjelaskan
tuntutan kita lebih panjang dan bisa diterima massa.
b.
Agitasi dari rumah ke rumah
Agitasi –propaganda ini berfungsi untuk mengajak kontak untuk
diyakinkan dan dapat ikut serta dalam pertemuan yang kita lakukan. Biasanya ini
dipergunakan pada tahap awal pengorganisiran atau ketika ada perluasan ke basis
lain dan sifatnya masih kontak.
VII.6 Pembangunan Struktur Agen Mobilisasi
Struktur agen yang kita bentuk
disesuaikan dengan struktur basis massa yang menjadi sasaran aksi . Karena ini
aksi yang sifatnya mobilisasi umum maka struktur yang dibentuk juga bukan hanya
struktur agen di basis lokal melainkan struktur agen berapa basis/kota/wilayah.
Misalnya dalam satu wilayah maka harus ada struktur antar kota satu dengan
struktur kota lainnya. Sementara di kota tersebut juga ada struktur antar
basis.
Pembangunan agen mobilisasi aksi
wilayah sama dengan pembangunan agen dalam pengorganisiran aksi di satu basis
(pabrik/kampung/desa). Bedanya adalah dalam setiap pertemuan
basis, jika kita punya kontak massa basis lain, maka akan sangat baik kontak
kita ini dapat diikut-sertakan, karena tuntutan kita adalah tuntutan umum
seluruh massa. Ini dilakukan untuk mempercepat perluasan basis-basis massa yang
akan menjadi pelopor untuk menggerakan satu wilayah. Bahkan pada prinsipnya
seluruh massa di satu basis HARUS selalu diingatkan bila punya kontak di basis lain dapat
diajak ikut. Setelah itu kontak ini ditugaskan untuk mengajak kawan-kawannya
dan membuat kumpulan di basisnya sendiri dan mulai membangun struktur di basis
tersebut. Untuk pemilihan terhadap siapa-siapa yang menjadi koordinator maka
pemilihan harus diusahakan dipilih oleh massa sendiri. Karena masalah yang
mengerti siapa yang terbaik dan paling berani, paling militan dan untuk
melakukan ini. Dengan pemilihan ini maka koordinator ini akan menjadi pimpinan
yang akan diakui/dipatuhi oleh mereka. Sambil membangun struktur di satu basis,
juga harus dilakukan pembangunan/pertemuan antar basis dan antar
titik-titik/konsentrasi basis kota yang menjadi sasaran. Walaupun struktur ini
bisa saja bersifat sementara karena mungkin ada pergantian.
Catatan: Setiap koordinator
harus mengetahui bagaimana menghubungi jajaran di bawahnya (koordinator dibawahnya).
Artinya ia harus mengetahui tempat tinggalnya.
VII.7 Peta Lokasi Aksi
Sebelum bergerak harus ada pemetaan
(peta) wilayah. Dimana titik-titik sasaran yang menjadi sasaran aksi kita.
Dimana basis-basis kita, dimana massa basis-basis lain yang tidak kita
organisir akan dapat diseret dalam aksi kita. Dimana letak tujuan aksi kiat,
DPRD, DPR. Depnaker, Istana, dll. Dimana letak markas tentara/polisi yang akan
di mobilisir untuk menghentikan aksi kita. Dimana titik yang akan menjadi
tempat pertemuan utama dari titik-titik pertemuan seluruh massa. Dimana
kemungkinan kita akan dihadang, kemana kita harus mundur, kemana bila kita
harus tetap sampai ke lokasi aksi.
VII.8 Waktu Aksi
Waktu aksi yang tepat adalah pada
saat massa berkumpul dijalan. Misalnya jam 6.30-7.00 WIB pada saat masuk kerja.
Jam berapa pelopor harus sudah berkumpul dll. Berapa waktu yang dibutuhkan
untuk mengkonsolidasikan massa di titik-titik kumpul, kapan harus titik-titik
tersebut ketemu dan kapan harus segera bergerak keluar.
Hal-hal yang harus diperhatikan:
- Semua pekerjaan harus bersifat massal, artinya pekerjaan pengorganisiran, agitasi-propaganda, penempelan poster, pembagian selebaran harus bersifat massal, termasuk dana. Semua orang harus menjadi organisator, agitator-propagandis. Bila proses ini tidak menjadi massal bisa dipastikan sebelum aksi, bahwa kita telah gagal.
- Harus ada dua tempat : tertutup dan terbuka.
VII.9 Istilah-istilah dalam Aksi
Setelah kesadaran kritis terbangun maka perangkat yang akan dipersiapkan sebagai
instrumen aksi untuk mengawal sebuah tuntutan yang akan diimplementasikan dalam
sebuah aksi massa dan perangkat yang harus terdiri dari
- KORLAP (kordinator lapangan)
Seorang leader yang bertanggung jawab akan jalannya aksi, korlap
juga harus faham problematika dan tuntutan yang diangkat, memahami
karakteristik massa aksi dan membuat kebijakan dalam situasi jalanya aksi
- ASTER
Asisten korlap yang ditunjuk sebagai steakholder dalam aksi dan
bertanggung jawab atas kebijakan korlap untuk menyampaikan dan mengkondisikan
serta pelaksaannya terhadap massa aksi.
- NEGOSIATOR
Wakil dari massa aksi untuk bernegosiasi terhadap pihak lain yang
menjadi lawan atau penghambat aksi juga sebagai delegasi massa aksi untuk
melakukan sebuah kesepakatan atau understanding kepada obyek yang dituntut
- ORATOR
Melakukan sebuah propaganda kepada massa aksi ataupun masnyarakat
luas agar mereka mengerti dan faham akan problematika dan tuntutan yang
disampaikan pada pihak yang terkait aksi tersebut, dan juga agar massa yang
lain bersimapti dan mengikuti aksi
- HUMAS (hubungan masnyarakat)
Menyampaikan materi aksi kepada media (surat kabar,elektronik)
sebagai publikasi dan opini building hal ini media berperan penting akan
penyebaran jargon yang diangkat dalam aksi.
- BAPOR (barisan pelopor)
Perangkat ini sebagai brigade terdepan dalam aksi dan diperlukan
apabila aksi disetting Chaos tugasnya untuk menahan dan membalas lawan aksi
- KORDUM (koordinator umum)
Bagian yang diperlukan apabila banyak sekali massa aksi dan melibatkan berbagai erlemen
didalamnya.
PENUTUP
Sebagai kekuatan yang misterius dalam mengontrol social tentunya
akan lebih maksimal apabila para pelopor aksi intens dalam pendampingan atau
advokasi pra dan pasca aksi protes, karna intensitas interaksi antara
pendamping (CO) memberikan kontribusi yang besar terhadap radikalisasi masa
aksi yang didampingi, dan aksi yang progesif
akan menjadi sebuah power society, maka seorang advocator atau CO jangan
sekali-kali meninggalkan rakyat (komunitas) yang didampinginya sampai sebuah target yang ideal itu tercapai. Wallahu A’lam...
good
BalasHapusbermanfaat sekali sahabat.. trmkasih..
BalasHapusbermanfaat sekali sahabat.. trmkasih..
BalasHapusNice Article
BalasHapusTerbaik lakar
BalasHapus