Sabtu, 01 Oktober 2011

DEMOKRASI BURUK, BAGAIMANA DENGAN KHILAFAH ?

Rakyat sebagaimana dimaklum adalah entitas yang abstrak. Dalam medan politik, ia senantiasa diperebutkan untuk diatasnamakan, diwakili [representasi] dan dijadikan sumber legitimasi. Inilah mengapa kita perlu instrumen untuk mengukur kehadiran rakyat dalam politik. Kehadiran memastikan rakyat wujud. Di sini ia konkret.

Sistem yang paling mungkin menghadirkan rakyat disebut demokrasi. Sistem ini mensyaratkan rakyat senantiasa wujud dan karenanya konkret. Instrumennya, apalagi jika bukan pemilihan umum (election). Dalam kotak suara, rakyat menyatakan diri. Ia tak hanya hadir di tempat pemungutan suara [TPS], tapi sejatinya memasukkan kehendak. Inilah yang suci dan lalu diterjemahkan dalam angka. Pada titik ini pula demokrasi bertemu dilema.
Pertama, dalam statistik kita tak dapat diyakinkan sepenuhnya bahwa ia mewakili kehendak rakyat. Apalagi jika pemungutan suara diciderai oleh beragam kecurangan dan tindak manipulasi lainnya. Statistik “ tidak berbunyi” manakala proses pemungutan suara atau pemilu secara umum tak dapat memastikan rakyat diberi kesempatan sama untuk menggunakan hak pilih. Kisruh DPT dan lalu dikompensasi dengan dibolehkannya penggunaan KTP untuk mencontreng, faktanya tak menolong banyak bagi calon pemilih.
Kedua, demokrasi tak pernah menjamin bahwa yang dikonfirmasi oleh statistik [angka] melahirkan sosok pemimpin yang terbaik. Kandidat yang mendapat suara terbanyak belum tentu lebih baik dari kandidat yang suaranya tekor. Bahkan dengan mengandaikan Pilpres 8 Juli berlangsung luber dan jurdil pun [dan hasil quick count sejumlah lembaga benar], rakyat ternyata punya pilihan sendiri tentang apa yang mereka sebut pemimpin terbaik. Dan karena kata akhir ditentukan oleh statistik, demokrasi sepenuhnya nisbi alias bukan sesuatu yang mutlak.
Maka wajar jika ada yang berujar, “demokrasi adalah sistem [politik] yang buruk”. Lalu adakah tawaran yang lebih baik?
Dalam sejarah Yunani, awal mula sistem ini, demokrasi bahkan tak hanya dipandang sebagai hal nisbi. Socrates menentangnya. Demokrasi adalah nonsens, kata Socrates. Suara rakyat sering kali suara gombal. Kebajikan (arete) yang terutama adalah pengetahuan. Memilih para pengelola pemerintahan dengan cara pungutan suara itu tak masuk di akal. Bukankah seorang nakhoda juga tak dipilih dengan pemungutan suara? [Goenawan Mohamad dalam caping “Demos”, 29 September 1984].
Di kubu nisbi ada Aristoteles atau Plato. Bapak “rasionalisme” Aristoteles menawarkan sistem monarki atau aristokrasi. Kedua sistem mengandaikan hanya sekumpulan kecil individu yang memiliki kebajikan dan kemampuan untuk memimpin sebuah himpunan bernama negara.
Di masa modern, salah seorang bapak bangsa Amerika, Thomas Jefferson percaya demokrasilah yang harus dipilih dan dirawat negaranya untuk mewujudkan cita-cita nasional. Jefferson pernah menyindir. Katanya, “demokrasi adalah sistem yang buruk, tapi yang lain lebih buruk lagi…” Artinya Jefferson membuka kemungkinan memilih sistem lain, jika sistem itu jauh lebih baik dari sistem demokrasi. Andaikata pernah terbit monarki di Amerika barangkali sejarah negara adidaya dan sejarah dunia tak bermuara pada pemujaan terhadap demokrasi yang kelewat batas.
Khilafah
Ada yang beranggapan demokrasi adalah pencapaian tertinggi peradaban Barat. Yang paling agresif mengampanyekan perlawanan terhadap demokrasi, adalah Islamis yang memuja sistem khilafah. Di tanah air, ini bisa dilacak dari ekspresi tak henti-henti untuk mendirikan negara Islam. Hizbut Tahrir Indonesia misalnya memaklumatkan tujuan ini. “Melanjutkan kehidupan Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia…Seluruh kegiatan kehidupan diatur sesuai dengan hukum-hukum syariat.”
Ada yang menginginkan tegaknya Daulah Islamiyah [Daulah Khilafah] yang dipimpin seorang Khalifah yang diangkat dan dibai’at oleh kaum muslimin untuk didengar dan ditaati agar menjalankan pemerintahan berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.
Menurut Abu A’la Al-Maududi, negara Islam diletakkan pada prinsip utama pada pengakuan kdaulatan Tuhan sebagai segala sumber hukum. Bahwa tak seorang pun yang dapat menetapkan hukum, kecuali Allah SWT sebagai pemilik kedaulatan tunggal. Dalam pengertian ini, negara Islam memiliki tiga pilar, yakni masyarakat Muslim, hukum Islam atau syariat Islam dan khilafah.
Namun begitu tak ada pendapat tunggal ihwal negara Islam. Pemikir Mesir, Ali Abd ar-Raziq dalam kitab “Al Islam wa Usul al Ahkam, Bahs fi al-Khilafah wa al-Hukumah fi al Islam” menyebut tidak ada negara Islam. Kata Abd ar-Raziq, Islam adalah agama moral merujuk hadist Nabi, “Aku diutus tidak lain untuk menyempurnakan akhlak mulia”. Hingga akhirnya hayatnya, Nabi tidak pernah menyatakan tentang bentuk pemerintahan serta sistem apa yang mesti diterapkan untuk membangun komunitas Muslim. Maka, ar-Raziq berujar sistem khilafah bukanlah keharusan bagi kaum Muslim untuk mendirikannya, karena bukan bagian dari Islam.
Lebih jauh, khilafah disebutnya sebagai lembaga yang bersifat politik yang diproyeksikan untuk menopang kepentingan-kepentingan politik. Kepentingan politik adalah persoalan duniawi yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan Islam sebagai agama. Akibat pendapatnya itu, ar-Raziq disamakan denganMustafa Kemal Attaturk, pemimpin Turki yang mengumumkan penghapusan lembaga khilafah dan menyatakan pemisahan urusan agama dari negara pada 1924.
Apabila kita membaca “The Crisis of Muslim History: Akar-akar Krisis Politik dalam Sejarah Muslim” karya Mahmoud M. Ayoub [Mizan, 2004], kita akan disodorkan fakta yang mengejutkan. Khilafah tak pernah menjamin Muslim tiba pada akhir yang baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar