Sabtu, 01 Oktober 2011

PMII, HMI, IMM : SEBUAH POTRET POLITIK ISLAM

Hanya kader PMII (Persatuan Mahasiswa Islam Indonesia) yang pernah jadi Presiden, yakni Gus Dur. Kader HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) walau basisnya amat kuat dalam panggung politik, tetapi belum pernah melahirkan seorang Presiden. Apalagi IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah), tetapi tokoh Muhammadiyah pernah menyebut bahwa Soekarno adalah kader Muhammadiyah. Jika keberhasilan politik Islam ditakar dengan kedudukan politik tertinggi adalah kursi Presiden.

Kader politik Islam memang sudah digodok sejak mahasiswa. PMII sebagai kader yang kelak akan bergerak dalam payung politik NU (Nahdlatul Ulama). IMM kelak akan berpayung Muhammadiyah sebagai organisasinya. HMI lebih memilih tanpa payung kecuali sebuah forum silaturahmi yang bernama KAHMI (Korp Alumni HMI). HMI lebih banyak menyebarkan kader politik ke dalam berbagai partai politik baik ke Golkar, Demokrat, PDIP maupun PPP.
Kendati kader politik HMI banyak memegang pucuk pimpinan partai, HMI belum berhasil menelorkan seorang Presiden. Akbar Tandjung lama menjadi Ketua Umum Golkar tapi gagal menjadi presiden. Nurcholish Madjid sebagai tokoh penting HMI, hanya sempat menjadi salah satu calon presiden sebelum ia wafat karena gagal operasi hati di Singapura. Kini kader HMI banyak berharap dengan Anas Urbaningrum, ketika pemuda mantan Ketua Umum PB HMI ini dipercaya menjadi Ketua Umum DPP Partai Demokrat. Akankah Anas berhasil menjadi presiden pada 2014. Masih terlalu pagi untuk menebak. Sebab senior Partai Demokrat buru-buru memberikan pernyataan bahwa Ketua Umum DPP Partai Demokrat tidak secara otomatis adalah calon presiden.
Walau gagal menjadi presiden, kader HMI telah menjalar ke berbagai profesi dan menjadi menteri. Hampir setiap periode kabinet di Indonesia, kader HMI selalu ada. Yang agak sulit dimasuki oleh kader HMI adalah Departemen Agama. Karena Depag lebih menjadi basis kader PMII, Surya Dharma Ali sang Menteri Agama sekarang adalah mantan Ketua Umum DPP PMII. Pengalaman non kader PMII menjadi Menag, seperti  Malik Fajar yang merupakan kader IMM, tidak terlalu berhasil memimpin Depag, karena bawahannya masih PMII. Menurut ceritanya, manajemen Depag tidak dapat berjalan baik, ketika Menag berasal dari unsur bukan NU. Dan itu tradisi sejak era reformasi sekarang.
Gesekan politik antara basis HMI, PMII dan IMM ini amat keras sejak di bangku kuliah. Khususnya di perguruan Islam seperti UIN atau IAIN. Gesekan politik kampus ini telah menjadi permanen sejak dulu hingga kini sehingga mewarnai politik Islam di tanah air. Mulai dari soal siapa dekan dan siapa rektor, ketiga unsur mahasiswa Islam ini ikut menentukan. Dari aspek kemasiswaan akder HMI lebih banyak di UIN, sehingga posisi penting kampus lebih didominasi oleh kader HMI ketimbang unsur IMM dan PMII. Agaknya, pewarnaan politik kampus ini telah menjadi blue print politik nasional yang sering diserap oleh para petinggi politik di tanah air.
Sayang, pergerakan mahasiswa Islam ini lebih kepada keasyikan politik ketimbang gerakan intelektual sehingga pembaharuan pemikiran Islam terabaikan. Padahal dunia masih membutuhkan sosok Nurcholish Madjid dan dunia membutuhkan sosok Gus Dur lagi. Dimanakah mereka?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar